Kamis, 26 Mei 2011

Tidak Ingin Belajar Lagi

Sudah hampir sebulan ini saya dalam perang dingin dengan wanita yang saya panggil mama.

Berada dalam situasi seperti ini sangat tidak menyenangkan apalagi saya yang masih tinggal serumah dengan orang tua. Ganjil dan tidak terbiasa. Lebih banyak menghabiskan waktu dalam kamar (tidak terlalu membosankan juga karena semua yang saya butuhkan tersedia disitu). Saya cuma keluar saat ingin makan atau ke toilet.

Berpapasan? Masing-masing berlagak seolah tak melihat satu sama lain.

Kejadian itu berawal dari beberapa minggu lalu saat ada resepsi pernikahan salah satu sepupu. Hanya karena tidak turut membantu persiapan pernikahan, saya pun di ceramah habis-habisan. Tapi tidak sesederhana itu teman. Dari kata-kata yang keluar dari mulutnya, ada bahasa yang sangat menyakitkan - bahasa yang keluar dari relung hatinya saya kira. Apa yang dipendamnya selama ini akhirnya bisa saya tahu melalui momen itu. Seperti seorang mabuk yang terkadang jujur perkataannya saat sedang benar-benar mabuk.

Mengetahui itu amat menyakitkan. Seolah dihempaskan ke titik dasar untuk mengerti sebuah arti penolakan. Katakan ini cuma persepsi saya, tapi tidak ada alternatif lain dari bahasa itu yang mampu saya tangkap lagi. Bukan begini harusnya mama.

Muncul seribu, sejuta bahkan uncountable questions yang harus saya cari jawabannya. Apa yang bisa dimengerti dari anak usia 25 tahun terhadap maksud wanita 48 tahun? Kekecewaan, penyesalan, permusuhan dengan diri sendiri mulai menghidupi saya sampai saat ini. Saya habiskan berhari-hari hanya untuk menyelami ada apa dengan 5, 10, bahkan 25 tahun kemarin. Jika seorang ibu mengungkapkan betapa malunya ia dengan putrinya, apa yang harus saya lakukan?

"Jika boleh, sekali 'abrakadabra' ingin rasanya menghapus ingatan kami berdua tentang masa sulit kemarin. Tentang rasa syukur yang sudah saya panjatkan, tentang betapa bangganya punya ibu yang super hebat, tentang dia yang memainkan peran sebagai satu-satunya manusia yang mampu menerima saya dalam keterpurukan, atau tentang kepasrahan dan kasih sayangnya sewaktu menguatkan saya."


Harusnya dilupakan saja agar saya tidak perlu lagi percaya, ada ibu  disitu untuk menopang saya. 
Dan tidak harus se-extrim ini permainan sakit hati. Namun semua bergulir tanpa bisa saya kontrol lagi walau segala akal, akhlak, nurani sudah saya maksimalkan tetap saja tidak menjawab semua penolakan dari seorang ibu.
Maaf mama.  Untuk debu di wajah kalian. 
Awalnya saya percaya, kesalahan dan kekeliruan kemarin adalah proses belajar. Namun tidak untuk kali ini. 

Saya mulai meyakini bahwa itu semua hanya menjadi suatu bumerang bahkan untuk ibu kandung sendiri.
Kemana saya akan pergi tanpa pengakuan?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar