Minggu, 14 November 2010 | 00:22 WIB
Oleh : Putu Setia
Negeri ini sedang berduka tertimpa bencana, pejabat negara hendaknya tidak bepergian ke luar negeri. Kecuali presiden.
Mungkin ini kata yang tak terucapkan. Memang, kunjungan ke luar negeri yang tak penting sebaiknya ditunda. Ada ribuan orang yang tengah menderita terkena bencana di Wasior, Mentawai, dan Merapi. Belum lagi bencana yang tingkatnya lebih rendah, seperti banjir di beberapa daerah.
Kenapa Presiden boleh pergi? Bukankah Barack Obama membatalkan perjalanan ke luar negeri ketika ada tumpahan minyak di Teluk Meksiko? Itu kasusnya beda. Obama jalan-jalan menjalin kemitraan, sementara Presiden SBY ke Korea Selatan dan Jepang menghadiri pertemuan penting, konferensi tingkat tinggi kelas dunia. Indonesia harus berperan dalam kegiatan itu.
Ini contoh perkecualian yang masuk akal. Jika kita simak berita belakangan ini, ada banyak sekali perkecualian, entah masuk akal atau akal-akalan. Misalnya, Menteri Tifatul Sembiring, karena keyakinannya yang mutlak dan sangat pribadi, tak sudi bersalaman dengan wanita lain yang bukan muhrimnya. Kecuali dengan Michelle Obama.
Sampai di sini saya tetap menaruh hormat kepada Menteri Tifatul, apalagi saya senang dengan pantunnya. Pernah saya menyimpan pertanyaan dalam hati: apakah keyakinan itu tidak bertabrakan dengan statusnya sebagai pejabat publik? Bagaimana kalau ada stafnya yang wanita dan berprestasi, atau tamu-tamu terhormatnya yang bukan muhrim, apa tega tak menyalami? Saya banyak kenal para kiai dan banyak di antara mereka yang mau bersalaman dengan bukan muhrim.
Tapi pertanyaan itu segera saya buang. Hak seseorang untuk berkeyakinan dan berprinsip harus dihormati--meskipun menurut saya menegakkan keyakinan itu harus siap untuk mengorbankan hal lain. Misalnya, kalau tak mau salaman, ya, jangan menjadi pejabat publik--karena ini etika dalam sebuah pergaulan yang sehat.
Konon, beberapa tahun lalu di Bali, ada seseorang hendak dilantik jadi pejabat. Ketika dia tahu dalam acara sumpah jabatan harus mengenakan pakaian nasional lengkap dengan kopiah hitam, dia menolak. Menurut dia, kopiah itu simbol agama tertentu. Banyak orang menasihati, itu hanya “peci”, itu hanya “songkok nasionalis”, tapi dia tetap ngotot dengan keyakinannya. Dan dia berkorban: mundur jadi pejabat. Saya salut kepada prinsipnya itu.
Kembali kepada Menteri Tifatul, saya menghormati prinsipnya dan saya pun senang ada perkecualiannya, yakni mau salaman dengan tamu negara yang kita hormati. Tapi, aneh bin ajaib, ketika Tifatul berkilah di Twitter bahwa salaman itu “tak ikhlas” dan dia menyalahkan Michelle yang memaksakan tangan, saya jadi heran. Ini membuat hormat saya sirna kepada sang menteri. Saya setuju Tifatul berhenti jadi pejabat publik, bukan soal keyakinannya, melainkan alasan “akal-akalannya” itu.
Bagaimana dengan kasus Gayus Tambunan? Orang-orang yakin, Kapolri Timur Pradopo pasti siap menindak anggotanya yang mengeluarkan Gayus dari tahanan. Orang pun yakin, pemerintah akan mampu menuntaskan kasus ini. Kecuali, mengungkap kebenaran adanya Gayus di Bali.
Kenapa ada kecuali lagi? Ketika orang mirip Gayus itu ada di Bali, di situ ada Aburizal Bakrie. “Kebetulan” ini bisa dikaitkan dengan pernyataan Gayus asli yang disampaikan dalam sidang, ada uang Rp 100 miliar berasal dari wajib pajak di perusahaan yang sahamnya milik keluarga Bakrie. Orang bisa main tebak, pastilah ada pertemuan untuk menyiasati persidangan kasus mafia pajak itu. Dan itu akan tetap misteri karena ketokohan Aburizal, kecuali dia bukan lagi orang penting di negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar