Minggu, 29 Mei 2011

Tanah dan Air, Tanah Air?


Judul diatas merupakan salah satu artikel DR. Mudji Sutrisno. Membaca tulisan beliau membuat miris hati saya dengan pergeseran nilai hidup bersosial yang dibungkus dengan kata PERADABAN dan MODERNISASI. 


Beliau memaparkan, sekitar tahun 1950-1960an, di daerah Jawa tepatnya disudut-sudut jalan kampung atau bahkan didepan rumah-rumah penduduk, tersedia kendi-kendi berisi air minum segar yang diperuntukkan bagi orang-orang yang kebetulan lewat dan sedang merasa kehausan. Tersedia juga sumur timba untuk membasuh keringat atau kaki dan tangan pejalan yang merasa kelelahan.

Disini, air dinilai sebagai kepemilikan bersama, dibagi secara bersama dan dinikmati bersama-sama. Bak layaknya kota Roma dalam masa peradaban apex mundi (pusat kota) yang mengelola air segar mereka melalui Fontana yaitu pancuran-pancuran air minum yang dihias indah dan sengaja ditaruh di piazza-piazza juga sudut jalan protokol atau taman-taman kota. 


Fontana ini memiliki fungsi yang sama yakni ketika orang membutuhkan air bisa langsung meminumnya. Air-air fontana ini disebut juga Aqua Virgine (air asli perawan) yang kemudian menjadi inspirasi Bernini membuat pahatan fontana di Navoda sebagai salah satu masterpiece pahatan airnya.

Kembali fokus ke peradaban di Indonesia. Peradaban sekarang merupakan peradaban “having” atau kepemilikan. Terjadi pergeseran nilai dari yang awalnya bersama (tanah air kita) menjadi nilai kepemilikan dengan cover ekonomis atau komersil. 


Contoh nyata seperti kemasan plastik air minum. Betapa daya dorong komersil yang kuat kemudian air yang menjadi milik bersama disulap oleh kekomersilan, menjadi brand perdagangan bagi yang mampu. Lihat pula penghilangan kendi-kendi milik umum berganti menjadi penjualan air botolan dengan berbagai merek. Pemanfaatan syarat basic survival - kebutuhan dasar bertahan hidup untuk dijadikan barang konsumsi.
Jika keadaannya seperti ini, lalu muncul pertanyaan, siapakah pemilik tanah dan air ini? Apakah diperuntukkan bagi mereka yang mampu?
Tanah yang dahulu seperti air, milik bersama, kini dalam peradaban having menjadi milik individual yang semakin dikumpulkan dan dijadikan sumber kekayaan pribadi. Akibatnya, hidup bersama yang ditopang atas dasar milik bersama kini dikuasai oleh yang empunya. Lalu masih relevankah menyanyikan tanah airku?

Muncul persoalan transisi peradaban antara “tanah air milik bersama” (secara hukum milik negara) menuju tanah air yang dikuasai hukum ekonomi, komersialisasi ekonomi.

Tanah airku,
Tanah tumpah darahku
Tanah yang subur dan kaya
Tanah yang menguntungkan bagi yang mampu
Oh Indonesiaku...


1 komentar:

  1. Like aja. follow balas ya di http://23desember.blogspot.com/

    BalasHapus