Sabtu, 15 Oktober 2011

3 Pertanyaan Seorang Atheis


Ada seorang pemuda yang lama sekolah di negeri Sam kembali ke tanah air. Sesampainya di rumah ia meminta kepada orang tuanya untuk mencari seorang Guru agama, siapapun yang boleh menjawab 3 pertanyaannya. Akhirnya Orang tua pemuda itu mendapatkan orang tersebut.


“Anda siapa? Dan apakah boleh anda menjawab pertanyaan-pertanyaan saya?” Pemuda bertanya. “Saya hamba Allah dan dengan izin-Nya saya akan menjawab pertanyaan saudara.” Jawab Guru Agama. 
“Anda yakin? sedang Profesor dan banyak orang pintar saja tidak mampu menjawab pertanyaan saya.” 
Jawab Guru Agama “Saya akan mencoba sejauh kemampuan saya”


Pemuda : “Saya punya 3 pertanyaan;


1. Kalau memang Tuhan itu ada, tunjukan kewujudan Tuhan kepada saya
2. Apakah yang dimaksudkan dengan takdir?
3. Kalau setan diciptakan dari api kenapa dimasukan ke neraka yang dibuat dari api?, tentu tidak menyakitkan buat syaitan, sebab mereka memiliki unsur yang sama.


Apakah Tuhan tidak pernah berfikir sejauh itu?”


Tiba-tiba Guru Agama tersebut menampar pipi si Pemuda dengan kuat. Sambil menahan kesakitan pemuda berkata “Kenapa anda marah kepada saya?” Jawab Guru Agama “Saya tidak marah… Tamparan itu adalah jawapan saya kepada 3 pertanyaan yang anda ajukan kepada saya”.


“Saya sungguh-sungguh tidak faham”, kata pemuda itu. 
Guru Agama bertanya “Bagaimana rasanya tamparan saya?”. 
“Tentu saja saya merasakan sakit”, jawabnya. 
Guru Agama bertanya ” Jadi anda percaya bahwa sakit itu ada?”. 
Pemuda itu mengangguk tanda percaya. 
Guru Agama bertanya lagi, “Tunjukan pada saya wujud sakit itu!” 
“Tak bisa,” jawap pemuda. 
“Itulah jawapan pertanyaan pertama: kita semua merasakan kewujudan Tuhan tanpa mampu melihat wujudnya.” terang Guru Agama.


Guru Agama bertanya lagi, “Apakah tadi malam anda bermimpi akan ditampar oleh saya?”. “Tidak” jawab pemuda. 
“Apakah pernah terfikir oleh anda akan menerima sebuah tamparan dari saya hari ini?” “Tidak” jawab pemuda. 
“Itulah yang dinamakan Takdir” terang Guru Agama.


Guru Agama bertanya lagi, “Diperbuat dari apa tangan yang saya gunakan untuk menampar anda?”. 
“Kulit,” Jawab pemuda. 
“Pipi anda diperbuat dari apa?” 
“Kulit" Jawab pemuda. 
“Bagaimana rasanya tamparan saya?” 
“Sakit.” Jawab pemuda. 
“Walaupun Setan terbuat dari api dan Neraka terbuat dari api, jika Tuhan berkehendak maka Neraka akan menjadi tempat menyakitkan untuk
setan.” Terang Guru Agama.





Referensi :
http://archive.kaskus.us/thread/4347408

Sabtu, 17 September 2011

“Tuhan belum selesai dengan saya”


Jika anda mengenal seorang wanita yang sedang hamil, yang telah mempunyai 8 anak, tiga diantaranya tuli, dua buta, satu mengalami gangguan mental dan wanita itu sendiri mengidap sipilis, apakah anda akan menyarankan untuk menggugurkan kandungannya?
Jika anda menjawab ya, maka anda baru saja membunuh satu komponis masyhur dunia. Karena anak yang dikandung oleh sang ibu tersebut adalah Ludwig Van Beethoven.
dan…..
Sekarang adalah waktunya untuk memilih seorang pemimpin dunia dan keputusan anda berpengaruh besar terhadap siapa yang akan menjadi pemenang. Berikut adalah fakta mengenai ketiga calon tersebut:
Calon A: dihubung-hubungkan dengan politisi jahat dan sering berkonsultasi dengan astrologis, punya dua istri muda, dia juga seorang perokok berat dan minum 8-10 botol martini setiap harinya.
Calon B: dipecat dua kali dari kantor, selalu bangun sore hari, pernah menggunakan narkoba waktu kuliah dan minum wiski tiap sore.
Calon C: dianggap pahlawan perang, vegetarian, tidak merokok, hanya sesekali minum bir, tidak pernah berselingkuh di luar perkawinannya.
Siapa di antara ketiga calon ini yang akan anda pilih? Anda mungkin tidak akan menduga siapa sebenarnya calon-calon ini.
Calon A adalah Franklin D. Roosevelt
Calon B adalah Winston Churchill
Calon C adalah Adolf Hitler
Sekali lagi sejarah mengajarkan untuk tidak menilai orang dari penampilan.
Refleksi :
Kita tidak selalu tahu apa yang sedang dan masih mungkin terjadi di dalam hati seseorang. Di sanalah (di dalam hati), perjalanan yang sesungguhnya sedang terjadi. Selama kita belum bisa melihat ke dalam hati seseorang dan belum bisa mengikuti proses-proses yang masih berlangsung di dalamnya (dan memang tidak akan pernah bisa), maka sebenarnya selama itulah kita tidak mempunyai hak apapun untuk menghakimi sesama kita.
Mungkin baik bagi kita membiasakan diri untuk melihat secara imajiner, bahwa di dada setiap orang terpampang sebuah kalimat “Tuhan belum selesai dengan saya”



Senin, 15 Agustus 2011

Jerit Si Renta...

Tujuh belas pria
Delapan wanita 
Empat puluh lima anak-anak
Itu Indonesia

Merah meriah 
Putih lagak kita
Bersiap menyongsong viktori
Gemilang, gemuruh, 
Gejolak semusim seperti agenda tahunan

Namun disudut lapangan
Kakek nenek renta murung menatap tiang
Dipuncaknya ada kain
Apa itu masih merah putih yang dulu?

Batin mereka...
Rumusan itu kami yang buat
Kalian tinggal melanjutkan saja

Sistem itu juga, kami yang susun
Kalian hanya sisa mebenahi 

Nasionalisme itu,kami yang tanam
Semoga kalian masih ingat soal itu

Lalu integrasi?
Jangan lupa, kami wafat untuk itu
Dengan raungan 
Dan bukan rengekan

Singkat saja, kami beri kalian warisan
Tanpa manipulasi, egoistis atau kekuatan liar
Berharap kalian punya identitas identik pancasila,
Bukan membebek saja pada sabda teknokrat

Itu wajah kami,
Bagaimana wajah kalian sekarang?

Kami lihat kalian resah bila tak bermodal
Orientasi beralih menuju penumpukan kekuasaan
Semakin keadilan dicanangkan jadi asas pembangunan
Semakin pula keadilan jadi ideal tak kesampaian
Menghukum yang kecil 
Membesarkan yang besar
Hukum dikomoditikan dengan nilai tukar
Lalu jadi jadi momok tua di era sejuta harapan

Ampun Gusti, kami yang salah
Lupa mewariskan akal budi jua
Sehingga hanya kami yang mampu melihat
Merah putih yang kalian samarkan
Sekarang jadi hitam.


Lecon Alfa Privatinum_13'08'11



Selasa, 09 Agustus 2011

Pengakuan sebuah Bendera



Perkenalkan....
Akulah bendera usang itu

Terbuat dari kain murahan
yang di beli dari sebuah pasar kampung yang pernah terbakar
dijahit oleh benang-benang bekas celana dalam para pelacur dan lelaki hidung belang
namun..........
enam puluh enam kali sudah aku berkibar
sambil menyanyikan romantisme kemerdekaan picisan

Akulah bendera usang itu....
yang tak begitu halus menyentuh riasa mereka
lalu meninggalkan luntur pada safari mahal mereka
pada sebuah perayaan meriah

Akulah ini....
bendera usang itu....

Berkibar dengan gugup di ujung sebuah tiang bambu
sembari ragu memandang wajah-wajah tak tahu malu
sekaligus....
akulah bendera yang berkibar dihalaman sebuah Istana
ketika kemerdekaan malah meletuskan sebuah perang

Di depanmu ibu...
Aku mengaku....
Kalau akulah bendera itu

Penyebab sekaligus saksi atas ribuan mayat anak-anakmu

Inilah aku ibu.....
Benderamu......

Yang  memimpikan kelak menjadi Kafan
bagi seorang bocah yang melantukan  Lagu padamu Negeri
di sebuah jalan panas kota ini

Abner Paulus Raya, Agustus 2011


Senin, 08 Agustus 2011

Imperialisme dan Kapitalisme


Senin, 6 Juni 2011 | 14:00 WIB 
Pidato Indonesia Menggugat 
Oleh : Ir. Soekarno
Artinya



Tuan-tuan Hakim yang terhormat!
Di dalam aksi kami sering-sering kedengaran kata-kata “kapitalisme” dan “imperialisme”. Di dalam proses ini, dua perkataana inipun menjadi penyelidikan. Kami antara lain dituduh memaksudkan bangsa Belanda dan bangsa asing lain, kalau umpamanya kami berkata “kapitaisme harus dilenyapkan”. Kami dituduh membahayakan pemerintah kalau kami berseru “rubuhkanlah imperialisme”. Ya, kami dituduhkan berkata bahwa kpitalisme = bangsa Belanda serta bangsa asing lain, dan bahwa imperialisme = pemerintah yang sekarang!

Adakah bisa jadi benar tuduhan ini? Tuduhan ini tidak bisa jadi benar. Kami tidak pernah mengatakan, bahwa kapitalisme = bangsa asing, tidak pernah mengatakan bahwa imperialisme = pemerintah. kami pun tidak pernah memaksudkan bangsa asing kalau berkata; kapitalisme, tidak pernah memaksudkan pemerintah atau ketertiban umum atau apa saja kalau kami berkata imperialisme. Kami memaksudkan kapitalisme kalau kami berkata kapitalisme; kami memaksudkan imperialisme kalau kami berkata imperialisme!

Maka apakah artinya kapitalisme? Tuan-tuan Hakim, di dalam pemeriksaan sudah kami katakan, Kapitalisme adalah sistem pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi. Kapitalisme timbul dari ini cara produksi, yang oleh karenanya, menjadi sebabnya nilai-lebih[1] tidak jatuh di dalam tangan kaum buruh melainkan jatuh di dalam tangan kaum majikan. Kapitalisme, oleh karenanya pula, menyebabkan akumulasi kapital , konsentrasi kapital , sentralisasi kapital , dan industrielle reserve-armée[2] . Kapitalisme mempunyai arah kepada Verelendung[3] (baca: pemelaratan).

Imperialisme bukan saja sistem atau nafsu menaklukkan negeri dan bangsa lain, tapi imperialisme juga hanya nafsu atau sistem mempengaruhi ekonomi negeri dan bangsa lain! (Bung Karno)
Haruskah kami di dalam pidato ini masih lebih lebar lagi menguraikan, bahwa kapitalisme itu bukan suatu badan, bukan manusia, bukan suatu bangsa,–tetapi ialah suatu faham, suatu pengertian, suatu sistem? Haruskah kami menunjukkan lebih lanjut, bahwa kapitalisme itu ialah sistem cara produksi, sebagai yang kami telah terangkan dengan singkat itu? Ah, Tuan-tuan Hakim, kami rasa tidak. Sebab tidak ada satu intelektuil yang tidak mengetahui artinya kata itu. Tidak ada satu hal di dunia ini, yang sudah begitu banyak diselidiki dari kanan-kiri, luar dalam, sebagai kapitalisme itu. Tidak ada satu hal di dunia ini, yang begitu luas perpustakaannya, sebagai kapitalisme itu, –hingga berpuluh-uluh jilid, berpuluh-puluh ribu studi dan buku-buku standar dan brosur-brosur tentang itu.

Tetapi apa arti perkataan imperialisme? Imperialisme juga suatu faham, imperialisme juga suatu pengertian. Ia bukan sebagai yang dituduhkan kepada kami itu. Ia bukan ambtenaar binnelandsch bestuur[4], bukan pemerintah, bukan gezag[5], bukan badan apapun jua. Ia adalah suatu nafsu, suatu sistem menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri,–suatu sistem merajai atau mengendalikan ekonomi atau negeri bangsa lain. Ini adalah suatu “kejadian” di dalam pergaulan hidup, yang timbulnya ialah oleh keharusan-keharusan di dalam ekonomi sesuatu negeri atau sesuatu bangsa. Selama ada “ekonomi bangsa”, selama ada “ekonomi negeri”, selama itu dunia melihat imperialisme. Ia kita dapatkan dalam nafsu burung Garuda Rum terbang ke mana-mana, menaklukkan negeri-negeri sekeliling dan di luar Lautan Tengah. Ia kita dapatkan di dalam nafsu bangsa Spanyol menuduki negeri Belanda untuk bisa mengalahkan Inggris, ia kita dapatkan di dalam nafsu kerajaan Timur Sriwijaya menaklukkan negeri semenanjung Malaka, menaklukkan kerajaan Melayu, mempengaruhi rumah tangga negeri Kamboja atau Campa. Ia kita dapatkan di dalam nafsu negeri Majapahit menaklukkan dan mempengaruhi semua kepulauan Indonesia, dari Bali sampai Kalimantan, dari Sumatera sampai Maluku. Ia kita dapatkan di dalam nafsu kerajaan Jepang menduduki semenanjung Korea, mempengaruhi negeri Mancuria, menguasai pulau-pulau di Lautan Teduh. Imperialisme terdapat di semua zaman “perekonomian bangsa”, terdapat pada semua bangsa yang ekonominya sudah butuh pada imperialisme itu. Bukan pada bangsa kulit putih saja ada imperialisme; tapi juga pada bangsa kulit kuning, juga pada bangsa kulit hitam, juga pada bangsa kulit merah sawo sebagai kami,–sebagai terbukti di zaman Sriwijaya dan zaman Majapahit; imperialisme adalah suatu “economische gedetermineerde noodwendigheid”, suatu keharusan yang ditentukan oleh rendah tingginya ekonomi sesuatu pergaulan hidup, yang tak memandang bulu.

Dan sebagai yang tadi kami katakan, –imperialisme bukan saja sistem atau nafsu menaklukkan negeri dan bangsa lain, tapi imperialisme juga hanya nafsu atau sistem mempengaruhi ekonomi negeri dan bangsa lain! Ia tak usah dijalankan dengan pedang atau bedil atau meriam atau kapal perang, tak usah berupa “pengluasan negeri-daerah dengan kekerasan senjata” sebagai yang diartikan oleh van Kol[6] (Seorang anggota parlemen Belanda) –tetapi ia bisa juga berjalan hanya dengan “putar lidah” atau cara “halus-halusan” saja, bisa juga berjalan dengan cara “pénétration pacifique”.

Terutama dalam sifatnya mempengaruhi rumah tangga bangsa lain, imperialisme zaman sekarang sama berbuahkan “negeri-negeri mandat” alias “mandaatgebieden”, daerah-daerah pengaruh” alias “invloedssferen” dan lain-lain sebagainya, sedang di dalam sifatnya menaklukkan negeri orang lain, imperialisme itu berbuah negeri jajahan, –koloniaal-bezit.


*) Diambil dari Risalah “Indonesia Menggugat” yaitu Pidato Pembelaan Bung Karno di depan pengadilan kolonial (landraad) di Bandung, 1930.



[1] Nilai lebih (merrwarde): kelebihan hasil yang diterima majikan, dari produksi kaum buruh.
[2] industrielle reserve-armée: barisan penganggur


[3] Verelendung: Memelaratkan kaum buruh.

[4] ambtenaar BB (binnelandsch bestuur): pegawai pamong praja kolonial belanda


[5] Gezag: kekuasaan.


[6] Van Kol Henri Hubert (1852-1925) , seorang sosialis yang turut mendirikan Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP) dan pernah menjadi Menteri Jajahan. Kata-kata ini diucapkan Van Kol dalam sidang Tweede Kamer, 22 November 1901.

Kamis, 04 Agustus 2011

“Jangan bilang gue perawan!”

 Mitos kalayak kebanyakan ‘menuduh’ perempuan berumur yang belum menikah pasti sensitif dan galak. Buktinya, kalau ada bos perempuan di kantor cerewet dan jutek, ditanya, ‘dia sudah menikah atau belum?’,  jika jawabannya ‘belum’ ditanya lagi, ‘umurnya berapa,’ dijawab ’30an’, akhirannya pasti, ‘Oh, pantesan … perawan tua.”


Beberapa teman suka menghindar ke pesta kawinan dengan alasan belum ada pasangan. Basi namun kenyataan hampir selalu demikian. Si Dina sampai bela-belain bikin meeting after office hour untuk menghindar pesta pernikahan kerabat dengan alasan yang sama. Suka sebel ditanya ‘mana pasangannya dan kamu kapan giliran nikahnya?’, cukup membuat Dina bete sama para tante yang suka berbasa-basi tak berperasaan itu. Dina curhat, “kenapa ya, pertanyaan tersebut selalu diulang layaknya lingkaran setan, tak berhenti sampai ‘sudah punya cowok belum?’, kalau sudah diteruskan ‘kapan menyusul?’, sudah married, “kok belum punya momongan?’, dapat satu, ‘ngga nambah nih?’. Untung tidak diteruskan lagi, ‘ngga bosan sama dia terus?’, jika bercerai pertanyaan diulang dari awal.” Hadoh!

Kakak Dina yang sudah 5 tahun menikah namun belum beranak sudah kebal dicecar pertanyaan lanjutan tadi. Sampai ada penorma berkata bahwa anak itu adalah pelepas lelah dikala capek, anak membuat tawa dikala sedih, anak adalah bla-bla-bla…, kalau tua nanti siapa yang menjaga kita kalau bukan anak sendiri. Heh? Dina tambah panas, “kalau capek yah istirahat, memangnya anak badut? Kalau mau ketawa nonton komedi saja, bla-bla-bla…, kasian banget anaknya, dijadikan ‘jamsostek’!, mending gue masuk rumah jompo, deh!”. Saya menghibur Dina dengan sebuah joke: ‘Old people always poke me at the wedding and say ‘you are next’, si, I started to do the same thing to them at the funerals. Dina bilang, ngga tega.

Saya salut sama ‘si-Parasit Lajang’, Ayu Utami yang memilih untuk tidak menikah dan sangat setuju dengan pemikirannya; bahwa pernikahan seakan menjadi satu-satunya pilihan. Tanpa menikah pun seseorang bisa bahagia, lebih bahagia mungkin daripada mendapat tekanan dalam perkawinan itu sendiri. Buktinya, banyak teman-teman yang perkawinannya tidak bahagia dan berakhir dengan perceraian. Menikah untuk keturunan juga adalah tekanan. Bagi kakak Dina, usaha mempunyai anak sudah paling maksimal, suntik hormon sampai bayi tabung. Bagi saya, konsep punya anak hanya dua hal; enak dan gratis -kebalikannya, itu bukan konsep saya.

Menikah hanya untuk sex halal, sama sekali tak setuju. Banyak ‘pemerkosaan’ suami terhadap istri dalam sebuah perkawinan dan banyak pula selingkuh diluar pernikahan. Itu konsekuensi pernikahan?, mendingan tidak sama sekali. Bagi Dina lain lagi, saking bosannya dengan pertanyaan tersebut, dia berplakat, ‘Loe boleh bilang gue udah tua, tapi jangan pernah bilang gue masih perawan!’ KAK! 

Selasa, 02 Agustus 2011

Sekali Lagi...

Fiuuhh… akhirnya aku bisa mengatakannya juga, lebih tepatnya memberitahukan tanpa bersuara karena cuman lewat sms dari nokia 1100 bututku.


“Bahwa ada seseorang khusus diciptakan untukmu. Kita akan menemukan teman sejati kita, tapi untuk mencintai dan bersamanya adalah tetap pilihan kita untuk mewujudkannya. Bang maaf kita bubaran saja. Kita tak mungkin mewujudkan apa-apa, lebih baik begini saja”
Begitulah kira-kira bunyi sms yang kukirimkan pada Rynal, lelaki yang 15 menit lalu masih kupanggil “sayang, aku memikirkanmu…”

Tak lewat semenit hapeku kembali mengeluarkan suara kodok pertanda ada sms baru.
“kok jd tiba2 gni sih???” ini balasan yang kudapat.

Dengan sisa kekuatan logika yang masih berdiri sempoyongan aku coba membalasnya :
“Maaf bang sebenarnya mikirnya udah dari kmaren cm br bs ngomong saat ini. Skali lagi maaf ya, gk bs ngomong langsung ke abang.”

Dan begitulah kontak terakhir aku dan Bang Rynal. Tak ada balasan lagi darinya. Aku pun cukup tahu diri untuk menjaga pikiran positifku atas tindakan negative yang sudah aku lancarkan. Secara etika, harusnya bukan begini cara yang baik.

Aku dan Bang Rynal sadar sekali atas resiko hubungan yang kami jalin. Tak bertujuan, hanya ingin menikmati atas dasar suka sama suka pada awalnya. Ada kebahagiaan yang merayapi kami. Sesuatu yang fresh yang sudah lama tidak aku kecap. Sebelum kehadirannya sempat berfikir bahwa hatiku sudah mati. Tapi dia beda. Dia adalah nuansa sayang yang benar menyentuh perasaanku. Ah indah sekali saat kami bersama. Bawel vs Ndut hehe begitulah panggilan kami berdua.

Usia kami berdua terpaut 9 tahun berbeda, ditambah dengan perbedaan budaya dan keyakinan yang tentunya semakin sulit menyatukan kami. Meski begitu, kami tetap saling mendukung dalam aktivitas baik kerja maupun religi.

Menurutku tak penting memikirkan perbedaan itu asalkan tetap satu hati dan saling mensupport maka kami akan terus bahagia. Tapi di titik tertentu aku terpaksa harus menepis anggapan itu. Usia yang semakin bertambah otomatis mengarahkanku pada pilihan dan keputusan. Ya.. kami tak bisa mewujudkan apa-apa dari jalinan ini jadi sebaiknya kuakhiri saja.

Kembali teringat suara seorang teman di telingaku, 
“…Lel ada paradigma berpikir yang sedikit keliru tentang perbedaan. Sering kita mengatasnamakan agama dan lainnya sebagai hambatan. Bukan itu poinnya, Dari awal kau menjalani hubungan itu bukan tidak tahu kalau kalian memang berbeda. Dan akhirnya kalian tetap membukukannya. Setelah itu baru muncul uneg-uneg seperti ini. Saat kita bicara perbedaan dan hubungan asmara, mari bicara dari perspektif yang terbuka.”

Katakanlah aku naïf, pesimis bahkan pecundang. Jangan pula tanyakan perasaanku saat sekarang. Tipis sekali aku memandang iklas dan terpaksa. Saat ini logikaku yang diunggulkan, walau tak sanggup menutupi perihnya rasa ini tapi aku bisa apa. Menyesal tidak kupedulikan lagi. Asalkan jangan lebih sakit nanti, karena belum tentu aku kuat.


Seperti yang kau bilang Bang, “Disaat kau memilih untuk bersama dengan seseorang, tidak peduli dengan hal lainnya, itu adalah pilihan. Kita mungkin akan menemukan teman sejati kita dengan kesempatan yang ada, tetapi untuk mencintai dan bersama dengan teman sejiwa kita, itu adalah tetap pilihan kita untuk mewujudkannya.”

Saat kita bersama itu adalah pilihan. Tapi kita berdua tahu, bahwa kita sama-sama tak mampu membuat pilihan untuk mewujudkannya…


Lecon_02.08.2011
Kamar Mayat






Saya Baca R.I.P di Wajah Tuan


Apa saya boleh protes..?
Saya baik, well saya anggap begitu
Harusnya saya yang tertawa
Tapi nyata membaliknya
Semudah senyum Tuan di belakang meja

Tak perlu jubah peci atau selempang agar oksigen tahu
Tulus dan kamuflase bukan saudara
Kali ini ego meninggi terpimpin logika
Karena darah dan daging  sepaket dan sepakat
Bahwa Tuan tertawa sambil injak lapak saya

Saya baca R.I.P di kalbu Tuan
Yang tidak merasa jantung saya berdarah hitam
Andai digenggam melepuh jemari berlian Tuan
Lalu saya percaya kebodohan Tuan memang menular
Terbukti kotak sabar saya tak pernah kurang sejumput

Oh Tuan
Sujud dan amin untuk malam ini malam kemarin dan malam besok
Semoga saya bisa seberuntung si kamboja
 sempat membaca R.I.P Tuan persis di Taman Makam Pahlawan
atau
Mungkin juga tidak…



Lecon /25 April 2011 / 11.42 AM

Senin, 25 Juli 2011

Mempelajari Jejak



oleh Mazmur Prasetya Aji pada 25 Juli 2011 jam 22:51


Berhenti, berhentilah sejenak
Sebelum langkah kembali beranjak
Berhentilah sejenak. 

Untuk apa kita berhenti?
Jika tempat tujuan masih menanti
Mengapa berhenti?

Tengoklah ke belakang!

Apa?
Selain hamparan pasir
Karang tajam dan tanah liat
Badai dan kalajengking
Yang sudah kita taklukkan

Lihatlah lebih cermat!

Aku melihat jejak

Jejak siapa?

Jejakku di pasir
Jejakku di tanah liat
Jejakku di karang tajam

Lalu?

Di pasir, jejakku segera hilang tersapu angin
Tak meninggalkan bekas seperti hantu

Di tanah liat, jejakku tertanam hingga dalam
Seolah menahan beban sepanjang perjalanan

Bagaimana jejakmu di karang tajam?

Tak kutemui jejakku di sana

Sungguh?

Sebentar...
Benar tak kutemui jejakku di sana
Selain serpihan kering yang menghitam
Aku tak mengenali apa itu

Itu darahmu
Yang menetes di setiap luka
Yang tercipta kala langkahmu
Tiba di karang ini

Benar tak kau temui jejakmu
Namun serpihan kering darahmu
Menceritakan:
Kau pernah bergelut di sini 
Dalam perjalananmu
Yang sebentar akan kau lanjutkan lagi

Selasa, 19 Juli 2011

Menyontek Banyak Manfaatnya Lho...

Mungkin diantara sobat ada yang kurang percaya dan bertanya-tanya: "Benarkah nyontek sebuah kegiatan yang bermanfaat? Lalu apa sebenarnya manfaat dari nyontek tersebut?" Oke, inilah jawaban professor Gen atas pertanyaan tersebut.

"Kegiatan nyontek ini memang kalah populer di kalangan masyarakat sekarang ini. Terutama bila dibandingkan dengan kegiatan bermusik yang memiliki AMI (Anugerah Musik Indonesia) untuk memberikan penghargaan kepada insan musik yang berjasa. Tidak ada Aungerah Nyontek Indonesia, dan tidak ada orang yang meraih gelar sebagai 'Conteker of The Year' untuk mereka yang berprestasi dalam contek-menyontek. Tapi mari kita berfikir logis. Kalau ntontek tidak bermanfaat, mana mungkin generasi-generasi seblum kita melakukan hal tersebut?" Kata Prof. Gen saat ditemui di kediamannya beberapa waktu lalu.

Professor Gen menambahkan, bahwa sedikitnya ada 6 manfaat yang bisa diambil dari kegiatan nyontek ini. Berikut penjelasannya:


7 Manfaat Nyontek Menurut Prof. Asal :



1.  Meningkatkan Kepercayaan diri dan Keberanian dalam mengambil resiko
Seperti yang sudah saya sebutkan di awal, bahwa nyontek juga memiliki resiko dan konsekuensi. Salah satunya, kalau sobat ketahuan nyontek tentunya akan dimarahi oleh Bapak atau Ibu Guru. Meskipun mereka juga waktu sekolah pernah melakukan hal serupa. Dan yang lebih parah, kertas ulangan bisa dicabut serta diberi nilai NOL.

Jadi, sudah bisa dipastikan bahwa orang-orang yang nyontek adalah mereka yang mau mengambil resiko. Kita juga tahu kalau hidup ini adalah pilihan yang penuh resiko. Belajar nyontek sama artinya dengan belajar mengambil resiko. Hidup nyontek..!!!!
 

2. Meningkatkan kreatifitas
Bagi saya, nyontek bukan sekedar kegiatan biasa, tapi sebuah seni yang didalamnya memerlukan kreatifitas. Dan orang-orang yang sering nyontek adalah orang dengan kreatifitas yang tinggi. 
 

Harap dicatat, bahwa kemungkinan besar para Guru adalah mantan conteker juga dulunya. Jadi, tentunya mereka sudah tahu bagaimana kebiasaan murid dalam mnyontek dan sudah punya penangkalnya. Krena itulah, diperlukan kreatifitas yang tinggi untuk terus mengembangkan jurus-jurus nyontek yang ampuh
 

3. Menyontek dapat meningkatkan kewaspadaan
Dalam kegiatan menyontek, kewaspadaan merupakan faktor yang sangat penting. Karena Sang Guru seperti elang dengan matanya yang tajam. Mengawasi dan siap menerkam siapa saja yang dicurigai atau ketahuan nyontek.

Supaya tidak terjadi hal memalukan pada sobat-sobat conteker (seperti dalam iklan: Pengen pintar, makanya belajar) kewaspadaan harus lebih ditingkatkan. Untuk hal yang satu ini akan saya berikan tipsnya lain waktu dalam "Cara Nyontek yang Baik dan Benar".

4. Melatih kecepatan dan gerak reflek
Sebuah penelitian yang dilakukan entah oleh siapa, mengungkap fakta yang cukup mengejutkan sekaligus menggembirakan bagi para contekers. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa 8 dari 10 conteker memiliki gerak reflek yang lebih baik dari mereka yang tidak pernah menyontek.

Jadi jelas, kalau sobat ingin meningkatkan kecepatan tangan dan gerak reflek, mulailah menyontek dari sekarang!

5. Melatih
 kerjasama antar contekers
Belakangan ini, seiring dengan makin ketatnya ruang yang diberikan para guru untuk para conteker, maka kegiatan nyontek tidak lagi dilakukan secara individual. Sekarang ini para contekers sudah bisa melakukan kerjasama untuk tercapainya tujuan mereka.

Bahkan sebelum melakukan kegiatan nyontek, terlebih dulu diadakan 'Briefing'. Menyusun strategi, membagi tugas, lalu berdoa bersama-sama.

6. Memiliki banyak waktu untuk bermain
Mereka yang tidak mencontek, harus belajar siang dan malam untuk menghadapi ulangan atau ujian. Tujuannya tentu saja mendapatkan nilai bagus. Hal ini berbeda dengan contekers. Mereka memiliki lebih banyak waktu untuk bermain-main.

Lalau bagaimana saat menghadapi ujian? Hanya dengan selembar kertas berisi coretan, mereka sudah bisa mendapatkan nilai yang bagus.

7. Mendapatkan nilai yang bagus
Nah, inilah tujuan utama sekaligus manfaat yang paling besar dalam kegiatan nyontek. Mendapatkan nilai yang bagus. Bahkan, contekers ini bisa mendapatkan nilai yang lebih baik dari mereka yang tiap hari belajar.

Nah, itulah beberapa
 manfaat nyontek yang diungkapkan oleh Professor Gen. Silahkan bagikan artikel ini ke conteker-conteker yang lain supaya menyontek isa lebih ditingkatkan lagi. Salam nyontek ^^







Source : Prof. Asal 

Senin, 18 Juli 2011

Tiga Bentuk Pengetahuan

Ibn El-Arabi mengajarkan ucapan yang sangat kuno ini kepada pengikut-pengikutnya :

Ada tiga bentuk pengetahuan.

Yang pertama adalah pengetahuan intelektual, yang sebenarnya hanya terdiri dari informasi dan kumpulan fakta, dan kegunaannya untuk mencapai konsep-konsep intelektual lebih.

Yang kedua menyusul pengetahuan tentang keadaan, yang meliputi baik perasaan emosional maupun keadaan badan yang ganjil, dalam mana manusia berpikir manusia berpikir bahwa ia telah menjadi sadar yang tertinggi. Tetapi ia sendiri tidak dapat memetik manfaat daripadanya. Inilah emosionalisme.

Yang ketiga menyusul pengetahuan real, yang disebut pengetahuan tentang realitas. Dalam bentuk ini, manusia dapat mengetahui apa yang baik, apa yang benar, diluar batas pemikiran dan perasaan. Para skolastik dan para ilmuwan memusatkan diri pada bentuk pertama dari pengetahuan diatas. Para emosionalis dan experimentalis menggunakan bentuk yang kedua. Sedangkan orang lain menggunakan gabungan dari dua bentuk pengetahuan tadi, atau kalau tidak salah satu dari keduanya.

Tetapi orang yang mencapai kebenaran adalah mereka yang tahu bagaimana menghubungkan dirinya dengan realitas, yang terletak di luar kedua bentuk pengetahuan ini. Inilah kaum sufi yang sejati, anggota-anggota tarekat religius Muslim yang telah mencapai kebenaran sejati.

*Ibn El-Arabi, diterjemahkan dari : The Way of the Sufi, Pinguin Books England, 1975, p.85
  penerjemah : Wayan Eka Suyasa, SVD



Muhyiddin ibnu al-Arabi adalah salah seorang Sufi di Abad pertengahan, kehidupan dan tulisan-tulisannya sekarang banyak mempengaruhi pemikiran di Timur maupun Barat. Oleh masyarakat Arab, ia dikenal sebagai Syeikh al Akbar, ‘Syeikh Agung’, sedang orang-orang Kristen Barat melalui terjemahan langsung mengenalnya; ‘Doktor Maksinius’. Ia wafat pada abad ketigabelas

Senin, 27 Juni 2011

Surat Kepada Tiga Setan Kota

Setan!
Kini saatnya kita bikin perhitungan
Cukup sudah segala dera dan siksa
Yang kami tanggung di panggung
Dari zaman ke zaman

Kesabaran ada batasnya
Kesabaran kami pun ada batasnya

Buat keadilan sejati kepada siapapun kami tak gentar
Apakah kepada kalian yang bernama Kabir
Pencoleng atau koruptor
Atau jenderal petak
Yang dadanya bergantungan seribu bintang


Kalau memang dimaui 
Kami pun siap berlawan
Esok atau lusa
Atau sekarang juga!

Dan bagi kami
Mati adalah soal sederhana
Karena kami tak ‘kan kehilangan apa-apa
Kecuali belenggu kami sendiri


Banyak yang perlu diingat
Kalian jangan salah hitung
Anak kami ada dimana-mana
Yang pemuda, pelajar dan mahasiswa
Yang buruh, tani dan prajurit
Dan bila datang waktunya
Mereka tak ‘kan salah bela
Sebab mereka tahu akan sumbernya
Dari yang disebut pakaian, peluru dan senapan
Kamilah yang bayar dengan keringat dan darah


Batas kesabaran kami 
ada di ambang pintu
Kalau di hari-hari lalu
Kami nuntut cuma bawa:
panji
spanduk
dan poster
Jangan kaget – kalau esok atau lusa
Atau ini hari juga
Kami bawa tekad baja!

Kami, r a k y a t!


(Dikutip dari buku Prahara Budaya, D.S Moeljanto - Taufiq Ismail)


**Sajak ini ditulis seorang penyair bernama Endo Suwartono di Jakarta pada September 1965, yang oleh harian sore Kebudayaan Baru dimuat di halaman depan pada edisi Rabu, 29 September 1965. Ibukota RI pada 29 September 1965 (sehari sebelum peristiwa G-30 S/PKI) dilanda suatu demonstrasi yang menuntut agar setan-setan kota ditembak mati di depan umum**

Kalau mau jujur, di masa Lekra-lah budaya kerakyatan itu menemukan "masa keemasan"-nya. Hidup dan sangat bergairah. Di sana kebudayaan diarahkan sepenuhnya pada pemihakan yang jelas-tegas kepada kaum yang tertindas. Apalagi konsepsi "seni untuk Rakyat" dalam konteks yang kongkrit itu didukung oleh koran progresif seperti Harian Rakjat. Jurnalisme yang terang-terangan memproklamasikan diri berpihak pada kaum tertindas dan menentang secara terbuka filsafat-filsafat yang meracuni kebudayaan masyarakat. Koran ini juga yang dengan sadar menyediakan pentas seluas-luasnya untuk menampung pikiran-pikiran kebudayaan seperti sajak, esei, cerita pendek, drama, dan sebagainya,yang barangkali tak dimiliki koran-koran lain untuk masanya.
(Dr. Sindhunata, budayawan dan penulis sejumlah buku) 

Saya tertarik menjadikan sajak ini sebagai catatan karena jelas menggambarkan pergulatan traumatis serta pilihan hidup-mati dalam sejarah pencaharian strategi kebudayaan bagi Indonesia modern. Saya dan orang muda lain yang tak ikut menyaksikan hiruk pikuk pada zaman itu. Betapa tulisan dapat membakar semangat kebersamaan, betapa semangat itu dapat meruntuhkan tembok egoisitas kaum ideologi totaliter yang memenjarakan kreatifitas budaya siapa saja yang tak seideologi dengannya.
Bah terlalu luas jika ini bicara tentang merubah Indonesia, lha saya juga bukan superhero to ya hehee. Namun jika sedikit masuk ke dalam, ini bukan sekedar Indonesia, ini tentang diri sendiri. Saya punya khayalan suatu saat saya dan yang lainnya hidup tanpa ada kesenjangan. 


Bagaimana saya membentuk kepekaan diri setidaknya kepada tetangga yang sedang berduka di sebelah, atau mpok nini yang tengah berhutang bunga bank tinggi untuk usaha kecil-kecilan demi kelanjutan hidup. Lebih parahnya lagi gubuk mpok nini ditarik dari sisa seng rumah pak Agus, pejabat dengan gelembung balon gas di perutnya - dengan pagar 3 meter dibangun kokoh untuk menjaga nissan terano juga classic BMW biru tuanya .
Ini budaya kesenjangan, memilukan. Saat saya menyantap ikan bakar rica-rica lalu si Hana dengan jagung rebus brani kuah? Atau jika si Lecon tidak sekolah lalu ngamen apa karena dia bodoh? Siapa yang bertanggung jawab jika dia dilahirkan dari keluarga sangat tidak berkecukupan? 
Mensejahterakan kehidupan rakyat, slogan yang asoy geboy untuk jualan dan teramat laris manis.

Bukan jamannya lagi angkat senjata, tapi mari angkat hati. 
Saya.. dan disebelah saya, apa yang sudah saya lakukan? 
Cukup itu dulu, maka Indonesia akan sedikit lebih berperasaan.