Selasa, 02 Agustus 2011

Sekali Lagi...

Fiuuhh… akhirnya aku bisa mengatakannya juga, lebih tepatnya memberitahukan tanpa bersuara karena cuman lewat sms dari nokia 1100 bututku.


“Bahwa ada seseorang khusus diciptakan untukmu. Kita akan menemukan teman sejati kita, tapi untuk mencintai dan bersamanya adalah tetap pilihan kita untuk mewujudkannya. Bang maaf kita bubaran saja. Kita tak mungkin mewujudkan apa-apa, lebih baik begini saja”
Begitulah kira-kira bunyi sms yang kukirimkan pada Rynal, lelaki yang 15 menit lalu masih kupanggil “sayang, aku memikirkanmu…”

Tak lewat semenit hapeku kembali mengeluarkan suara kodok pertanda ada sms baru.
“kok jd tiba2 gni sih???” ini balasan yang kudapat.

Dengan sisa kekuatan logika yang masih berdiri sempoyongan aku coba membalasnya :
“Maaf bang sebenarnya mikirnya udah dari kmaren cm br bs ngomong saat ini. Skali lagi maaf ya, gk bs ngomong langsung ke abang.”

Dan begitulah kontak terakhir aku dan Bang Rynal. Tak ada balasan lagi darinya. Aku pun cukup tahu diri untuk menjaga pikiran positifku atas tindakan negative yang sudah aku lancarkan. Secara etika, harusnya bukan begini cara yang baik.

Aku dan Bang Rynal sadar sekali atas resiko hubungan yang kami jalin. Tak bertujuan, hanya ingin menikmati atas dasar suka sama suka pada awalnya. Ada kebahagiaan yang merayapi kami. Sesuatu yang fresh yang sudah lama tidak aku kecap. Sebelum kehadirannya sempat berfikir bahwa hatiku sudah mati. Tapi dia beda. Dia adalah nuansa sayang yang benar menyentuh perasaanku. Ah indah sekali saat kami bersama. Bawel vs Ndut hehe begitulah panggilan kami berdua.

Usia kami berdua terpaut 9 tahun berbeda, ditambah dengan perbedaan budaya dan keyakinan yang tentunya semakin sulit menyatukan kami. Meski begitu, kami tetap saling mendukung dalam aktivitas baik kerja maupun religi.

Menurutku tak penting memikirkan perbedaan itu asalkan tetap satu hati dan saling mensupport maka kami akan terus bahagia. Tapi di titik tertentu aku terpaksa harus menepis anggapan itu. Usia yang semakin bertambah otomatis mengarahkanku pada pilihan dan keputusan. Ya.. kami tak bisa mewujudkan apa-apa dari jalinan ini jadi sebaiknya kuakhiri saja.

Kembali teringat suara seorang teman di telingaku, 
“…Lel ada paradigma berpikir yang sedikit keliru tentang perbedaan. Sering kita mengatasnamakan agama dan lainnya sebagai hambatan. Bukan itu poinnya, Dari awal kau menjalani hubungan itu bukan tidak tahu kalau kalian memang berbeda. Dan akhirnya kalian tetap membukukannya. Setelah itu baru muncul uneg-uneg seperti ini. Saat kita bicara perbedaan dan hubungan asmara, mari bicara dari perspektif yang terbuka.”

Katakanlah aku naïf, pesimis bahkan pecundang. Jangan pula tanyakan perasaanku saat sekarang. Tipis sekali aku memandang iklas dan terpaksa. Saat ini logikaku yang diunggulkan, walau tak sanggup menutupi perihnya rasa ini tapi aku bisa apa. Menyesal tidak kupedulikan lagi. Asalkan jangan lebih sakit nanti, karena belum tentu aku kuat.


Seperti yang kau bilang Bang, “Disaat kau memilih untuk bersama dengan seseorang, tidak peduli dengan hal lainnya, itu adalah pilihan. Kita mungkin akan menemukan teman sejati kita dengan kesempatan yang ada, tetapi untuk mencintai dan bersama dengan teman sejiwa kita, itu adalah tetap pilihan kita untuk mewujudkannya.”

Saat kita bersama itu adalah pilihan. Tapi kita berdua tahu, bahwa kita sama-sama tak mampu membuat pilihan untuk mewujudkannya…


Lecon_02.08.2011
Kamar Mayat






Tidak ada komentar:

Posting Komentar