Kamis, 04 Agustus 2011

“Jangan bilang gue perawan!”

 Mitos kalayak kebanyakan ‘menuduh’ perempuan berumur yang belum menikah pasti sensitif dan galak. Buktinya, kalau ada bos perempuan di kantor cerewet dan jutek, ditanya, ‘dia sudah menikah atau belum?’,  jika jawabannya ‘belum’ ditanya lagi, ‘umurnya berapa,’ dijawab ’30an’, akhirannya pasti, ‘Oh, pantesan … perawan tua.”


Beberapa teman suka menghindar ke pesta kawinan dengan alasan belum ada pasangan. Basi namun kenyataan hampir selalu demikian. Si Dina sampai bela-belain bikin meeting after office hour untuk menghindar pesta pernikahan kerabat dengan alasan yang sama. Suka sebel ditanya ‘mana pasangannya dan kamu kapan giliran nikahnya?’, cukup membuat Dina bete sama para tante yang suka berbasa-basi tak berperasaan itu. Dina curhat, “kenapa ya, pertanyaan tersebut selalu diulang layaknya lingkaran setan, tak berhenti sampai ‘sudah punya cowok belum?’, kalau sudah diteruskan ‘kapan menyusul?’, sudah married, “kok belum punya momongan?’, dapat satu, ‘ngga nambah nih?’. Untung tidak diteruskan lagi, ‘ngga bosan sama dia terus?’, jika bercerai pertanyaan diulang dari awal.” Hadoh!

Kakak Dina yang sudah 5 tahun menikah namun belum beranak sudah kebal dicecar pertanyaan lanjutan tadi. Sampai ada penorma berkata bahwa anak itu adalah pelepas lelah dikala capek, anak membuat tawa dikala sedih, anak adalah bla-bla-bla…, kalau tua nanti siapa yang menjaga kita kalau bukan anak sendiri. Heh? Dina tambah panas, “kalau capek yah istirahat, memangnya anak badut? Kalau mau ketawa nonton komedi saja, bla-bla-bla…, kasian banget anaknya, dijadikan ‘jamsostek’!, mending gue masuk rumah jompo, deh!”. Saya menghibur Dina dengan sebuah joke: ‘Old people always poke me at the wedding and say ‘you are next’, si, I started to do the same thing to them at the funerals. Dina bilang, ngga tega.

Saya salut sama ‘si-Parasit Lajang’, Ayu Utami yang memilih untuk tidak menikah dan sangat setuju dengan pemikirannya; bahwa pernikahan seakan menjadi satu-satunya pilihan. Tanpa menikah pun seseorang bisa bahagia, lebih bahagia mungkin daripada mendapat tekanan dalam perkawinan itu sendiri. Buktinya, banyak teman-teman yang perkawinannya tidak bahagia dan berakhir dengan perceraian. Menikah untuk keturunan juga adalah tekanan. Bagi kakak Dina, usaha mempunyai anak sudah paling maksimal, suntik hormon sampai bayi tabung. Bagi saya, konsep punya anak hanya dua hal; enak dan gratis -kebalikannya, itu bukan konsep saya.

Menikah hanya untuk sex halal, sama sekali tak setuju. Banyak ‘pemerkosaan’ suami terhadap istri dalam sebuah perkawinan dan banyak pula selingkuh diluar pernikahan. Itu konsekuensi pernikahan?, mendingan tidak sama sekali. Bagi Dina lain lagi, saking bosannya dengan pertanyaan tersebut, dia berplakat, ‘Loe boleh bilang gue udah tua, tapi jangan pernah bilang gue masih perawan!’ KAK! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar