Senin, 15 Agustus 2011

Jerit Si Renta...

Tujuh belas pria
Delapan wanita 
Empat puluh lima anak-anak
Itu Indonesia

Merah meriah 
Putih lagak kita
Bersiap menyongsong viktori
Gemilang, gemuruh, 
Gejolak semusim seperti agenda tahunan

Namun disudut lapangan
Kakek nenek renta murung menatap tiang
Dipuncaknya ada kain
Apa itu masih merah putih yang dulu?

Batin mereka...
Rumusan itu kami yang buat
Kalian tinggal melanjutkan saja

Sistem itu juga, kami yang susun
Kalian hanya sisa mebenahi 

Nasionalisme itu,kami yang tanam
Semoga kalian masih ingat soal itu

Lalu integrasi?
Jangan lupa, kami wafat untuk itu
Dengan raungan 
Dan bukan rengekan

Singkat saja, kami beri kalian warisan
Tanpa manipulasi, egoistis atau kekuatan liar
Berharap kalian punya identitas identik pancasila,
Bukan membebek saja pada sabda teknokrat

Itu wajah kami,
Bagaimana wajah kalian sekarang?

Kami lihat kalian resah bila tak bermodal
Orientasi beralih menuju penumpukan kekuasaan
Semakin keadilan dicanangkan jadi asas pembangunan
Semakin pula keadilan jadi ideal tak kesampaian
Menghukum yang kecil 
Membesarkan yang besar
Hukum dikomoditikan dengan nilai tukar
Lalu jadi jadi momok tua di era sejuta harapan

Ampun Gusti, kami yang salah
Lupa mewariskan akal budi jua
Sehingga hanya kami yang mampu melihat
Merah putih yang kalian samarkan
Sekarang jadi hitam.


Lecon Alfa Privatinum_13'08'11



Selasa, 09 Agustus 2011

Pengakuan sebuah Bendera



Perkenalkan....
Akulah bendera usang itu

Terbuat dari kain murahan
yang di beli dari sebuah pasar kampung yang pernah terbakar
dijahit oleh benang-benang bekas celana dalam para pelacur dan lelaki hidung belang
namun..........
enam puluh enam kali sudah aku berkibar
sambil menyanyikan romantisme kemerdekaan picisan

Akulah bendera usang itu....
yang tak begitu halus menyentuh riasa mereka
lalu meninggalkan luntur pada safari mahal mereka
pada sebuah perayaan meriah

Akulah ini....
bendera usang itu....

Berkibar dengan gugup di ujung sebuah tiang bambu
sembari ragu memandang wajah-wajah tak tahu malu
sekaligus....
akulah bendera yang berkibar dihalaman sebuah Istana
ketika kemerdekaan malah meletuskan sebuah perang

Di depanmu ibu...
Aku mengaku....
Kalau akulah bendera itu

Penyebab sekaligus saksi atas ribuan mayat anak-anakmu

Inilah aku ibu.....
Benderamu......

Yang  memimpikan kelak menjadi Kafan
bagi seorang bocah yang melantukan  Lagu padamu Negeri
di sebuah jalan panas kota ini

Abner Paulus Raya, Agustus 2011


Senin, 08 Agustus 2011

Imperialisme dan Kapitalisme


Senin, 6 Juni 2011 | 14:00 WIB 
Pidato Indonesia Menggugat 
Oleh : Ir. Soekarno
Artinya



Tuan-tuan Hakim yang terhormat!
Di dalam aksi kami sering-sering kedengaran kata-kata “kapitalisme” dan “imperialisme”. Di dalam proses ini, dua perkataana inipun menjadi penyelidikan. Kami antara lain dituduh memaksudkan bangsa Belanda dan bangsa asing lain, kalau umpamanya kami berkata “kapitaisme harus dilenyapkan”. Kami dituduh membahayakan pemerintah kalau kami berseru “rubuhkanlah imperialisme”. Ya, kami dituduhkan berkata bahwa kpitalisme = bangsa Belanda serta bangsa asing lain, dan bahwa imperialisme = pemerintah yang sekarang!

Adakah bisa jadi benar tuduhan ini? Tuduhan ini tidak bisa jadi benar. Kami tidak pernah mengatakan, bahwa kapitalisme = bangsa asing, tidak pernah mengatakan bahwa imperialisme = pemerintah. kami pun tidak pernah memaksudkan bangsa asing kalau berkata; kapitalisme, tidak pernah memaksudkan pemerintah atau ketertiban umum atau apa saja kalau kami berkata imperialisme. Kami memaksudkan kapitalisme kalau kami berkata kapitalisme; kami memaksudkan imperialisme kalau kami berkata imperialisme!

Maka apakah artinya kapitalisme? Tuan-tuan Hakim, di dalam pemeriksaan sudah kami katakan, Kapitalisme adalah sistem pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi. Kapitalisme timbul dari ini cara produksi, yang oleh karenanya, menjadi sebabnya nilai-lebih[1] tidak jatuh di dalam tangan kaum buruh melainkan jatuh di dalam tangan kaum majikan. Kapitalisme, oleh karenanya pula, menyebabkan akumulasi kapital , konsentrasi kapital , sentralisasi kapital , dan industrielle reserve-armée[2] . Kapitalisme mempunyai arah kepada Verelendung[3] (baca: pemelaratan).

Imperialisme bukan saja sistem atau nafsu menaklukkan negeri dan bangsa lain, tapi imperialisme juga hanya nafsu atau sistem mempengaruhi ekonomi negeri dan bangsa lain! (Bung Karno)
Haruskah kami di dalam pidato ini masih lebih lebar lagi menguraikan, bahwa kapitalisme itu bukan suatu badan, bukan manusia, bukan suatu bangsa,–tetapi ialah suatu faham, suatu pengertian, suatu sistem? Haruskah kami menunjukkan lebih lanjut, bahwa kapitalisme itu ialah sistem cara produksi, sebagai yang kami telah terangkan dengan singkat itu? Ah, Tuan-tuan Hakim, kami rasa tidak. Sebab tidak ada satu intelektuil yang tidak mengetahui artinya kata itu. Tidak ada satu hal di dunia ini, yang sudah begitu banyak diselidiki dari kanan-kiri, luar dalam, sebagai kapitalisme itu. Tidak ada satu hal di dunia ini, yang begitu luas perpustakaannya, sebagai kapitalisme itu, –hingga berpuluh-uluh jilid, berpuluh-puluh ribu studi dan buku-buku standar dan brosur-brosur tentang itu.

Tetapi apa arti perkataan imperialisme? Imperialisme juga suatu faham, imperialisme juga suatu pengertian. Ia bukan sebagai yang dituduhkan kepada kami itu. Ia bukan ambtenaar binnelandsch bestuur[4], bukan pemerintah, bukan gezag[5], bukan badan apapun jua. Ia adalah suatu nafsu, suatu sistem menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri,–suatu sistem merajai atau mengendalikan ekonomi atau negeri bangsa lain. Ini adalah suatu “kejadian” di dalam pergaulan hidup, yang timbulnya ialah oleh keharusan-keharusan di dalam ekonomi sesuatu negeri atau sesuatu bangsa. Selama ada “ekonomi bangsa”, selama ada “ekonomi negeri”, selama itu dunia melihat imperialisme. Ia kita dapatkan dalam nafsu burung Garuda Rum terbang ke mana-mana, menaklukkan negeri-negeri sekeliling dan di luar Lautan Tengah. Ia kita dapatkan di dalam nafsu bangsa Spanyol menuduki negeri Belanda untuk bisa mengalahkan Inggris, ia kita dapatkan di dalam nafsu kerajaan Timur Sriwijaya menaklukkan negeri semenanjung Malaka, menaklukkan kerajaan Melayu, mempengaruhi rumah tangga negeri Kamboja atau Campa. Ia kita dapatkan di dalam nafsu negeri Majapahit menaklukkan dan mempengaruhi semua kepulauan Indonesia, dari Bali sampai Kalimantan, dari Sumatera sampai Maluku. Ia kita dapatkan di dalam nafsu kerajaan Jepang menduduki semenanjung Korea, mempengaruhi negeri Mancuria, menguasai pulau-pulau di Lautan Teduh. Imperialisme terdapat di semua zaman “perekonomian bangsa”, terdapat pada semua bangsa yang ekonominya sudah butuh pada imperialisme itu. Bukan pada bangsa kulit putih saja ada imperialisme; tapi juga pada bangsa kulit kuning, juga pada bangsa kulit hitam, juga pada bangsa kulit merah sawo sebagai kami,–sebagai terbukti di zaman Sriwijaya dan zaman Majapahit; imperialisme adalah suatu “economische gedetermineerde noodwendigheid”, suatu keharusan yang ditentukan oleh rendah tingginya ekonomi sesuatu pergaulan hidup, yang tak memandang bulu.

Dan sebagai yang tadi kami katakan, –imperialisme bukan saja sistem atau nafsu menaklukkan negeri dan bangsa lain, tapi imperialisme juga hanya nafsu atau sistem mempengaruhi ekonomi negeri dan bangsa lain! Ia tak usah dijalankan dengan pedang atau bedil atau meriam atau kapal perang, tak usah berupa “pengluasan negeri-daerah dengan kekerasan senjata” sebagai yang diartikan oleh van Kol[6] (Seorang anggota parlemen Belanda) –tetapi ia bisa juga berjalan hanya dengan “putar lidah” atau cara “halus-halusan” saja, bisa juga berjalan dengan cara “pénétration pacifique”.

Terutama dalam sifatnya mempengaruhi rumah tangga bangsa lain, imperialisme zaman sekarang sama berbuahkan “negeri-negeri mandat” alias “mandaatgebieden”, daerah-daerah pengaruh” alias “invloedssferen” dan lain-lain sebagainya, sedang di dalam sifatnya menaklukkan negeri orang lain, imperialisme itu berbuah negeri jajahan, –koloniaal-bezit.


*) Diambil dari Risalah “Indonesia Menggugat” yaitu Pidato Pembelaan Bung Karno di depan pengadilan kolonial (landraad) di Bandung, 1930.



[1] Nilai lebih (merrwarde): kelebihan hasil yang diterima majikan, dari produksi kaum buruh.
[2] industrielle reserve-armée: barisan penganggur


[3] Verelendung: Memelaratkan kaum buruh.

[4] ambtenaar BB (binnelandsch bestuur): pegawai pamong praja kolonial belanda


[5] Gezag: kekuasaan.


[6] Van Kol Henri Hubert (1852-1925) , seorang sosialis yang turut mendirikan Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP) dan pernah menjadi Menteri Jajahan. Kata-kata ini diucapkan Van Kol dalam sidang Tweede Kamer, 22 November 1901.

Kamis, 04 Agustus 2011

“Jangan bilang gue perawan!”

 Mitos kalayak kebanyakan ‘menuduh’ perempuan berumur yang belum menikah pasti sensitif dan galak. Buktinya, kalau ada bos perempuan di kantor cerewet dan jutek, ditanya, ‘dia sudah menikah atau belum?’,  jika jawabannya ‘belum’ ditanya lagi, ‘umurnya berapa,’ dijawab ’30an’, akhirannya pasti, ‘Oh, pantesan … perawan tua.”


Beberapa teman suka menghindar ke pesta kawinan dengan alasan belum ada pasangan. Basi namun kenyataan hampir selalu demikian. Si Dina sampai bela-belain bikin meeting after office hour untuk menghindar pesta pernikahan kerabat dengan alasan yang sama. Suka sebel ditanya ‘mana pasangannya dan kamu kapan giliran nikahnya?’, cukup membuat Dina bete sama para tante yang suka berbasa-basi tak berperasaan itu. Dina curhat, “kenapa ya, pertanyaan tersebut selalu diulang layaknya lingkaran setan, tak berhenti sampai ‘sudah punya cowok belum?’, kalau sudah diteruskan ‘kapan menyusul?’, sudah married, “kok belum punya momongan?’, dapat satu, ‘ngga nambah nih?’. Untung tidak diteruskan lagi, ‘ngga bosan sama dia terus?’, jika bercerai pertanyaan diulang dari awal.” Hadoh!

Kakak Dina yang sudah 5 tahun menikah namun belum beranak sudah kebal dicecar pertanyaan lanjutan tadi. Sampai ada penorma berkata bahwa anak itu adalah pelepas lelah dikala capek, anak membuat tawa dikala sedih, anak adalah bla-bla-bla…, kalau tua nanti siapa yang menjaga kita kalau bukan anak sendiri. Heh? Dina tambah panas, “kalau capek yah istirahat, memangnya anak badut? Kalau mau ketawa nonton komedi saja, bla-bla-bla…, kasian banget anaknya, dijadikan ‘jamsostek’!, mending gue masuk rumah jompo, deh!”. Saya menghibur Dina dengan sebuah joke: ‘Old people always poke me at the wedding and say ‘you are next’, si, I started to do the same thing to them at the funerals. Dina bilang, ngga tega.

Saya salut sama ‘si-Parasit Lajang’, Ayu Utami yang memilih untuk tidak menikah dan sangat setuju dengan pemikirannya; bahwa pernikahan seakan menjadi satu-satunya pilihan. Tanpa menikah pun seseorang bisa bahagia, lebih bahagia mungkin daripada mendapat tekanan dalam perkawinan itu sendiri. Buktinya, banyak teman-teman yang perkawinannya tidak bahagia dan berakhir dengan perceraian. Menikah untuk keturunan juga adalah tekanan. Bagi kakak Dina, usaha mempunyai anak sudah paling maksimal, suntik hormon sampai bayi tabung. Bagi saya, konsep punya anak hanya dua hal; enak dan gratis -kebalikannya, itu bukan konsep saya.

Menikah hanya untuk sex halal, sama sekali tak setuju. Banyak ‘pemerkosaan’ suami terhadap istri dalam sebuah perkawinan dan banyak pula selingkuh diluar pernikahan. Itu konsekuensi pernikahan?, mendingan tidak sama sekali. Bagi Dina lain lagi, saking bosannya dengan pertanyaan tersebut, dia berplakat, ‘Loe boleh bilang gue udah tua, tapi jangan pernah bilang gue masih perawan!’ KAK! 

Selasa, 02 Agustus 2011

Sekali Lagi...

Fiuuhh… akhirnya aku bisa mengatakannya juga, lebih tepatnya memberitahukan tanpa bersuara karena cuman lewat sms dari nokia 1100 bututku.


“Bahwa ada seseorang khusus diciptakan untukmu. Kita akan menemukan teman sejati kita, tapi untuk mencintai dan bersamanya adalah tetap pilihan kita untuk mewujudkannya. Bang maaf kita bubaran saja. Kita tak mungkin mewujudkan apa-apa, lebih baik begini saja”
Begitulah kira-kira bunyi sms yang kukirimkan pada Rynal, lelaki yang 15 menit lalu masih kupanggil “sayang, aku memikirkanmu…”

Tak lewat semenit hapeku kembali mengeluarkan suara kodok pertanda ada sms baru.
“kok jd tiba2 gni sih???” ini balasan yang kudapat.

Dengan sisa kekuatan logika yang masih berdiri sempoyongan aku coba membalasnya :
“Maaf bang sebenarnya mikirnya udah dari kmaren cm br bs ngomong saat ini. Skali lagi maaf ya, gk bs ngomong langsung ke abang.”

Dan begitulah kontak terakhir aku dan Bang Rynal. Tak ada balasan lagi darinya. Aku pun cukup tahu diri untuk menjaga pikiran positifku atas tindakan negative yang sudah aku lancarkan. Secara etika, harusnya bukan begini cara yang baik.

Aku dan Bang Rynal sadar sekali atas resiko hubungan yang kami jalin. Tak bertujuan, hanya ingin menikmati atas dasar suka sama suka pada awalnya. Ada kebahagiaan yang merayapi kami. Sesuatu yang fresh yang sudah lama tidak aku kecap. Sebelum kehadirannya sempat berfikir bahwa hatiku sudah mati. Tapi dia beda. Dia adalah nuansa sayang yang benar menyentuh perasaanku. Ah indah sekali saat kami bersama. Bawel vs Ndut hehe begitulah panggilan kami berdua.

Usia kami berdua terpaut 9 tahun berbeda, ditambah dengan perbedaan budaya dan keyakinan yang tentunya semakin sulit menyatukan kami. Meski begitu, kami tetap saling mendukung dalam aktivitas baik kerja maupun religi.

Menurutku tak penting memikirkan perbedaan itu asalkan tetap satu hati dan saling mensupport maka kami akan terus bahagia. Tapi di titik tertentu aku terpaksa harus menepis anggapan itu. Usia yang semakin bertambah otomatis mengarahkanku pada pilihan dan keputusan. Ya.. kami tak bisa mewujudkan apa-apa dari jalinan ini jadi sebaiknya kuakhiri saja.

Kembali teringat suara seorang teman di telingaku, 
“…Lel ada paradigma berpikir yang sedikit keliru tentang perbedaan. Sering kita mengatasnamakan agama dan lainnya sebagai hambatan. Bukan itu poinnya, Dari awal kau menjalani hubungan itu bukan tidak tahu kalau kalian memang berbeda. Dan akhirnya kalian tetap membukukannya. Setelah itu baru muncul uneg-uneg seperti ini. Saat kita bicara perbedaan dan hubungan asmara, mari bicara dari perspektif yang terbuka.”

Katakanlah aku naïf, pesimis bahkan pecundang. Jangan pula tanyakan perasaanku saat sekarang. Tipis sekali aku memandang iklas dan terpaksa. Saat ini logikaku yang diunggulkan, walau tak sanggup menutupi perihnya rasa ini tapi aku bisa apa. Menyesal tidak kupedulikan lagi. Asalkan jangan lebih sakit nanti, karena belum tentu aku kuat.


Seperti yang kau bilang Bang, “Disaat kau memilih untuk bersama dengan seseorang, tidak peduli dengan hal lainnya, itu adalah pilihan. Kita mungkin akan menemukan teman sejati kita dengan kesempatan yang ada, tetapi untuk mencintai dan bersama dengan teman sejiwa kita, itu adalah tetap pilihan kita untuk mewujudkannya.”

Saat kita bersama itu adalah pilihan. Tapi kita berdua tahu, bahwa kita sama-sama tak mampu membuat pilihan untuk mewujudkannya…


Lecon_02.08.2011
Kamar Mayat






Saya Baca R.I.P di Wajah Tuan


Apa saya boleh protes..?
Saya baik, well saya anggap begitu
Harusnya saya yang tertawa
Tapi nyata membaliknya
Semudah senyum Tuan di belakang meja

Tak perlu jubah peci atau selempang agar oksigen tahu
Tulus dan kamuflase bukan saudara
Kali ini ego meninggi terpimpin logika
Karena darah dan daging  sepaket dan sepakat
Bahwa Tuan tertawa sambil injak lapak saya

Saya baca R.I.P di kalbu Tuan
Yang tidak merasa jantung saya berdarah hitam
Andai digenggam melepuh jemari berlian Tuan
Lalu saya percaya kebodohan Tuan memang menular
Terbukti kotak sabar saya tak pernah kurang sejumput

Oh Tuan
Sujud dan amin untuk malam ini malam kemarin dan malam besok
Semoga saya bisa seberuntung si kamboja
 sempat membaca R.I.P Tuan persis di Taman Makam Pahlawan
atau
Mungkin juga tidak…



Lecon /25 April 2011 / 11.42 AM