Senin, 27 Juni 2011

Surat Kepada Tiga Setan Kota

Setan!
Kini saatnya kita bikin perhitungan
Cukup sudah segala dera dan siksa
Yang kami tanggung di panggung
Dari zaman ke zaman

Kesabaran ada batasnya
Kesabaran kami pun ada batasnya

Buat keadilan sejati kepada siapapun kami tak gentar
Apakah kepada kalian yang bernama Kabir
Pencoleng atau koruptor
Atau jenderal petak
Yang dadanya bergantungan seribu bintang


Kalau memang dimaui 
Kami pun siap berlawan
Esok atau lusa
Atau sekarang juga!

Dan bagi kami
Mati adalah soal sederhana
Karena kami tak ‘kan kehilangan apa-apa
Kecuali belenggu kami sendiri


Banyak yang perlu diingat
Kalian jangan salah hitung
Anak kami ada dimana-mana
Yang pemuda, pelajar dan mahasiswa
Yang buruh, tani dan prajurit
Dan bila datang waktunya
Mereka tak ‘kan salah bela
Sebab mereka tahu akan sumbernya
Dari yang disebut pakaian, peluru dan senapan
Kamilah yang bayar dengan keringat dan darah


Batas kesabaran kami 
ada di ambang pintu
Kalau di hari-hari lalu
Kami nuntut cuma bawa:
panji
spanduk
dan poster
Jangan kaget – kalau esok atau lusa
Atau ini hari juga
Kami bawa tekad baja!

Kami, r a k y a t!


(Dikutip dari buku Prahara Budaya, D.S Moeljanto - Taufiq Ismail)


**Sajak ini ditulis seorang penyair bernama Endo Suwartono di Jakarta pada September 1965, yang oleh harian sore Kebudayaan Baru dimuat di halaman depan pada edisi Rabu, 29 September 1965. Ibukota RI pada 29 September 1965 (sehari sebelum peristiwa G-30 S/PKI) dilanda suatu demonstrasi yang menuntut agar setan-setan kota ditembak mati di depan umum**

Kalau mau jujur, di masa Lekra-lah budaya kerakyatan itu menemukan "masa keemasan"-nya. Hidup dan sangat bergairah. Di sana kebudayaan diarahkan sepenuhnya pada pemihakan yang jelas-tegas kepada kaum yang tertindas. Apalagi konsepsi "seni untuk Rakyat" dalam konteks yang kongkrit itu didukung oleh koran progresif seperti Harian Rakjat. Jurnalisme yang terang-terangan memproklamasikan diri berpihak pada kaum tertindas dan menentang secara terbuka filsafat-filsafat yang meracuni kebudayaan masyarakat. Koran ini juga yang dengan sadar menyediakan pentas seluas-luasnya untuk menampung pikiran-pikiran kebudayaan seperti sajak, esei, cerita pendek, drama, dan sebagainya,yang barangkali tak dimiliki koran-koran lain untuk masanya.
(Dr. Sindhunata, budayawan dan penulis sejumlah buku) 

Saya tertarik menjadikan sajak ini sebagai catatan karena jelas menggambarkan pergulatan traumatis serta pilihan hidup-mati dalam sejarah pencaharian strategi kebudayaan bagi Indonesia modern. Saya dan orang muda lain yang tak ikut menyaksikan hiruk pikuk pada zaman itu. Betapa tulisan dapat membakar semangat kebersamaan, betapa semangat itu dapat meruntuhkan tembok egoisitas kaum ideologi totaliter yang memenjarakan kreatifitas budaya siapa saja yang tak seideologi dengannya.
Bah terlalu luas jika ini bicara tentang merubah Indonesia, lha saya juga bukan superhero to ya hehee. Namun jika sedikit masuk ke dalam, ini bukan sekedar Indonesia, ini tentang diri sendiri. Saya punya khayalan suatu saat saya dan yang lainnya hidup tanpa ada kesenjangan. 


Bagaimana saya membentuk kepekaan diri setidaknya kepada tetangga yang sedang berduka di sebelah, atau mpok nini yang tengah berhutang bunga bank tinggi untuk usaha kecil-kecilan demi kelanjutan hidup. Lebih parahnya lagi gubuk mpok nini ditarik dari sisa seng rumah pak Agus, pejabat dengan gelembung balon gas di perutnya - dengan pagar 3 meter dibangun kokoh untuk menjaga nissan terano juga classic BMW biru tuanya .
Ini budaya kesenjangan, memilukan. Saat saya menyantap ikan bakar rica-rica lalu si Hana dengan jagung rebus brani kuah? Atau jika si Lecon tidak sekolah lalu ngamen apa karena dia bodoh? Siapa yang bertanggung jawab jika dia dilahirkan dari keluarga sangat tidak berkecukupan? 
Mensejahterakan kehidupan rakyat, slogan yang asoy geboy untuk jualan dan teramat laris manis.

Bukan jamannya lagi angkat senjata, tapi mari angkat hati. 
Saya.. dan disebelah saya, apa yang sudah saya lakukan? 
Cukup itu dulu, maka Indonesia akan sedikit lebih berperasaan. 


Sabtu, 18 Juni 2011

Ada kisah yang tak pernah usai...


Seperti kisahku bersama dia. Mungkin hanya kisah asmara biasa bagi segelintir orang, tapi sungguh bagiku ini bukan kisah biasa. Mengapa kupilih dia untuk menjadi kisahku? Karena harus kuakui dari dia, dari kisah kami, aku di titik minus plus. Bukan sekedar asmara, ada belajar, ada hidup, ada ekspresi, ada fatal, ada kekerasan, dan aku harus jujur, ada rumah tangga disitu.
Tiga tahun berlalu, aku masih tetap sama. Mengingat dan terus mengenang, bahkan memoriku bekerja sangat baik pada setiap detail 4,5 tahun yang kami jalani bersama. Tulisan ini kupersembahkan untuk dia yang genap berusia 29 tahun tepat hari ini.


Nong... sapaanku padanya. Tak sengaja bertemu di momen kebersamaan kelompok sewaktu kuliah. Masih dengan gaya lama, menitip - menerima - lalu membalas salam. Ada cerita lucu disini, saat itu aku bahkan belum tahu rupanya seperti apa. Diotakku terbayang seorang senior yang sempat melirikku pada malam puncak acara, dan untungnya kufikir dia orang yang sama yang menitip salam.



Kekeliruanku terkuak saat dia hendak berkunjung ke kosanku. Mandi bersih, rambut ditata klimaks, hampir setengah botol parfum kuhabiskan saking gugupnya. Lalu duduk manis dan menunggu jam 7 malam janjian kami.


"Maaf cari siapa?" aku bertanya ketika seseorang mengetuk lembut pintu kamarku. 
"Lely.." ucapnya pelan sedikit terkejut mendengar pertanyaanku. 
"Saya Lely, kakak siapa?" lanjutku kebingungan.
"Saya Riez" ungkapnya.
Gubrak! Singkat padat dan merah semulah wajahku mendengarnya. Rupanya aku salah kenal, ini sosok asli makluk yang kubalas salamnya. Langsung kupersilahkan masuk walau sedikit canggung karena ketahuan asal nyeplak salam.
Hehe itulah awal kisah kami. Lewat tiga kali pertemuan, tanpa basa basi dia langsung memintaku menjadi kekasihnya kala itu. Ember bersambut, kuiyakan saja tanpa banyak pikir. Toh simpatiku pun sudah tumbuh.
Persis empat bulan hubungan kami, kekerasan pertama dimulai. Pisau ditodongkan ke leherku saat kami bertengkar. Aku, yang sedari kecil akrab dengan kekerasan dari orang tua dan kakak-kakakku, menjadi ciut ketika harus pula dikasari oleh orang lain. Namun entah mengapa, atau saat itu ada ketergantungan sebagai perempuan kepada laki-lakinya, maka aku memilih tetap bertahan.

Tahun berlalu, kekerasan dilanjutkan ke tahun-tahun berikutnya. Kekerasan itu makin mudah ketika kami mulai tinggal bersama. Hubungan kali ini diketahui oleh keluarga walau ada beberapa hal yang kusembunyikan seperti hidup bersama tadi. Sampai puncaknya, aku mendapat operasi ringan dan menjalani perawatan intensif. Saat itu dia mabuk, aku dihajar habis-habisan sampai bebak belur seluruh tubuh. Beruntung empati tetangga kanan kiri cukup baik terhadapku sehingga akupun sedikit mendapat perlindungan. Kacau, kalut, tanpa ide. 


Seketika itu aku memutuskan untuk tidak lagi bersama. Konyolnya hal ini langsung ditentang serempak justru oleh keluargaku sendiri.Bahkan sempat keuanganku macet ketika aku tetap bersikukuh pada keputusan itu.

Tidak banyak yang kuharapkan selain kembali bersama. Karena aku lemah maka satu-satunya senjata yang kugunakan untuk membalasnya yakni berpaling dan membuatnya sakit hati. Ini terjadi beberapa kali, hanya untuk melihat bagaimana dia merasakan sakit seperti aku.Api dalam sekam, begitulah hubungan kami dipenuhi dengan aksi balas membalas sambil menunggu kapan sekam itu terbakar habis.

Puncaknya, kami akhiri menjelang wisudaku. Dia tetap tunjukan tanggung jawabnya sebagai laki-laki dengan membantu apa saja yang bisa dia bantu. Walau restu keluarga sudah ditangan, hampir tak ada penghalang yang berarti, namun kami tetap tidak dapat bersama lagi. Bukan karena kekerasan yang terjadi selama 4,5 tahun bersama. Detik ini jika ditanya, aku pun tak bisa menjawab apa yang membuat kami tak bisa bersama lagi. 



Namanya.. sampai sekarang masih sering dikumandangkan orang tuaku. Aku tak bisa berbuat banyak selain menyimpan rasa yang tak pernah hilang. Pernah kami kembali bertemu di penghujung tahun lalu, herannya tak satupun dari kami memulai pembicaraan lebih jauh. Hanya sebatas basa basi lantas dia kembali ke daerahnya. Kerinduan juga keengganan menjadi dilema bagiku sehingga tak berani bersuara.Walau begitu aku masih nyaman bergelayut dalam kenangan kami bersama.


Akhirnya, banyak sekali kesan tentang dia. Aku belajar bagaimana berumah tangga melalui dia. Komplit dan komplex. Romatis, komedi, action, tragis diramu jadi satu menghasilkan Elixir, Good Potion. Ramuan ampuh yang menjadikanku wanita hebat saat ini. 
Experience is the best teacher, betapa aku menyadari hal ini.
Terima kasihku untuk masa-masa berharga kemarin. Tanpa itu, aku tak bisa setangguh sekarang.



Selamat Ulang Tahun Nong...

Senin, 13 Juni 2011

Hidup : Bagian Tubuh Mana Yang Lebih Penting


Dari Millis tetangga……
Ibuku selalu bertanya padaku apa bagian tubuh yang paling penting. Bertahun-tahun, aku selalu menebak dengan jawaban yang aku anggap benar. 
Ketika aku muda, aku pikir suara adalah yang paling penting bagi kita sebagai manusia, jadi aku jawab, "Telinga, Bu.”
Jawabnya, “Bukan.  Banyak orang yang tuli. Tapi, teruslah memikirkannya dan aku menanyakanmu lagi nanti.”
 Beberapa tahun kemudian sebelum dia bertanya padaku lagi. Sejak jawaban pertama, kini aku yakin jawaban kali ini pasti benar. Jadi, kali ini aku memberitahukannya, “Bu, penglihatan sangat penting bagi semua orang, jadi pastilah mata kita.” 
Dia memandangku dan berkata, “Kamu belajar dengan cepat, tapi jawabanmu masih salah karena banyak orang yang buta.” 
Gagal lagi, aku meneruskan usahaku mencari jawaban baru dan dari tahun ke tahun, Ibu terus bertanya padaku beberapa kali dan jawaban dia selalu, “Bukan. Tapi, kamu makin pandai dari tahun ke tahun, anakku.” 
Akhirnya tahun lalu, kakekku meninggal. Semua keluarga sedih. Semua menangis. Bahkan, ayahku menangis. Aku sangat ingat itu karena itulah saat kedua kalinya aku melihatnya menangis. Ibuku memandangku ketika tiba giliranku untuk mengucapkan selamat tinggal pada kakek. 
Dia bertanya padaku, “Apakah kamu sudah tahu apa bagian tubuh yang paling penting, sayang?” 
Aku terkejut ketika Ibu bertanya pada saat seperti ini. Aku sering berpikir, ini hanyalah permainan antara Ibu dan aku. 
Ibu melihat kebingungan di wajahku dan memberitahuku, “Pertanyaan ini penting. Ini akan menunjukkan padamu apakah kamu sudah benar-benar “hidup”. Untuk semua bagian tubuh yang kamu beritahu padaku dulu, aku selalu berkata kamu salah dan aku telah memberitahukan kamu kenapa. Tapi, hari ini adalah hari di mana kamu harus belajar pelajaran yang sangat penting.” 
Dia memandangku dengan wajah keibuan. Aku melihat matanya penuh dengan air mata. Dia berkata, “Sayangku, bagian tubuh yang paling penting adalah bahumu.” 
Aku bertanya, “Apakah karena fungsinya untuk menahan kepala?” 
Ibu membalas, “Bukan, tapi karena bahu dapat menahan kepala seorang teman atau orang yang kamu sayangin ketika mereka menangis. Kadang-kandang dalam hidup ini, semua orang perlu bahu untuk menangis. Aku cuma berharap, kamu punya cukup kasih sayang dan teman-teman agar kamu selalu punya bahu untuk menangis kapan pun kamu membutuhkannya. ” 
Akhirnya, aku tahu, bagian tubuh yang paling penting adalah tidak menjadi orang yang mementingkan diri sendiri. Tapi, simpati terhadap penderitaan yang dialami oleh orang lain. 
Orang akan melupakan apa yang kamu katakan… Orang akan melupakan apa yang kamu lakukan… Tapi, orang TIDAK akan pernah lupa bagaimana kamu membuat mereka berarti….



Sabtu, 11 Juni 2011

Fisika Biologis



Hanya suara kipas tua sedang berputar di sudut loteng kamar reot peninggalan babe.  Hmm darimana bisa kudapatkan uang sebanyak itu..? 
Berpikir lagi dan berpikir keras.
Ah ku jual saja kipas angin itu toh bisa membantu nol koma tujuh persen.
Lumayan...

Dari loteng kamar kusam ini, secepatnya kularikan pandangan pada lemari kaca lapuk yang bertengger manis di pojok. Nampak tidak terlalu buruk untuk berpindah tangan.
Mulai mengkalkulasi dan dapat. Setidaknya sepertigadua bagian sudah lolos.

Masih kurang banyak, ayo cari lagi.
Apa? Dimana? Bisa? Bisa.
Aha, sepasang meja kursi jati itu, jangan harap bisa kabur dariku. Baiklah, Baba Ali pasti siap menggenapi jadi seperempat dari total uang yang diharapkan.
Sedikit lega mulai merayapi hati kemudian diikuti senyum asam manis. Makin mudah saja urusan ini.

Isi kamar ini masih tersisa lampu pijar 5 watt, dua potong baju anggun untuk kondangan, beberapa buku pelajaran SMP kelas awal sampai akhir, radio butut yang entah sudah berapa generasi. Tak lupa sepasang sepatu brand converse bandrolan pasar maling.
Coba-coba hitung... payah, bahkan setengah pun tak dapat.

Pusing pusing pusing!
Pasti ada cara lain karena cara itu tidak akan berhasil. Sudahlah besok saja pikiran ini disambung, sembari bangkit hendak merapikan ceceran buku di meja jati lapuk tadi.

Dan... triing! Benar saja. Kenapa tadi tidak terpikir?
Fisik. Tentu saja aku masih punya fisik.
Bagaimana kalau ku jual saja perawan ini? 
Seperti si Desi atau Rasti. Uang mereka sudah banyak sekarang, akupun bisa seperti itu. Lagipula mendengar cerita mereka kemarin, rasanya tidak begitu sulit melakukannya.
Ah aku tahu jawabanya sekarang. Biar kutemui mereka di sekolah besok.

Buku fisika... Tak bisa dipercaya kau menjadi solusi kali ini, makasih untuk idenya.


Dengan senyum lotre aku kembali ke balik selimut hangatku. 
Dari sela radio lokal mengalun tembang usang  Mother How Are You Today.
Mengantarku ke mimpi terbaik malam ini...

"...mother how are you today? Here is a note from your daughter..."


Lecon
Waingapu_12.06.11

Senin, 06 Juni 2011

Kekuatan Hati dan Pikiran

 
Di sebuah perusahaan rel kereta api ada seorang pegawai, namanya Nick. Dia sangat rajin bekerja, dan sangat bertanggung jawab, tetapi dia mempunyai satu kekurangan, yaitu dia tidak mempunyai harapan apapun terhadap hidupnya, dia melihat dunia ini dengan pandangan tanpa harapan sama sekali.
Pada suatu hari semua karyawan bergegas untuk merayakan ulang tahun bos mereka, semuanya pulang lebih awal dengan cepat sekali. Yang tidak sengaja terjadi adalah, Nick terkunci di sebuah mobil pengangkut es yang belum sempat dibetulkan. Nick berteriak, memukul pintu dengan keras, semua orang di kantor sudah pergi merayakan ulang tahun bosnya maka tidak ada yang mendengarnya.
Tangannya sudah merah kebengkak-bengkakan memukul pintu mobil itu, suaranya sudah serak akibat berteriak terus, tetapi tetap tidak ada orang yang mempedulikannya, akhirnya dia duduk di dalam sambil menghelakan nafas yang panjang. Semakin dia berpikir semakin dia merasa takut, dalam hatinya dia berpikir: Dalam mobil pengangkut es suhunya pasti di bawah 0 derajat, kalau dia tidak segera keluar dari situ, pasti akan mati kedinginan. Dia terpaksa dengan tangan yang gemetar, mencari secarik kertas dan sebuah bolpen, menuliskan surat wasiatnya.

Keesokkan harinya, semua karyawan pun datang bekerja. Mereka membuka pintu mobil pengangkut es tersebut, dan sangat terkejut menemukan Nick yang terbaring di dalam. Mereka segera mengantarkan Nick untuk ditolong, tetapi dia sudah tidak bernyawa lagi.
Tetapi yang paling mereka kagetkan adalah, listrik mobil untuk menghidupkan mesin itu tidak dihubungkan, dalam mobil yang besar itu juga ada cukup oksigen untuknya, yang paling mereka herankan adalah suhu dalam mobil itu hanya 28 derajat saja, tetapi Nick malah mati “kedinginan”!!
Nick bukanlah mati karena suhu dalam mobil terlalu rendah, dia mati dalam titik es di dalam hatinya. Dia sudah menghakimi dirinya sebuah hukuman mati, bagaimana dapat hidup terus?
Percaya dalam diri sendiri adalah sebuah perasaan hati. Orang yang mempunyai rasa percaya diri tidak akan langsung putus asa begitu saja, dia tidak akan langsung berubah sedih terhadap keadaan hidupnya yang jalan kurang lancar.
Tanyalah pada diri kita sendiri, apakah kita sendiri sering langsung memutuskan bahwa kita tidak mampu untuk mengerjakan suatu hal, sehingga kita kehilangan banyak kesempatan untuk menjadi sukses? Kehilangan banyak kesempatan untuk belajar mandiri? Untuk jadi lebih mengerti kehidupan ini?
Yang mempengaruhi semangat kamu bukanlah faktor-faktor dari luar, melainkan hatimu sendiri. Sebelum berusaha sudah dikalahkan oleh diri kita sendiri, biarpun ada banyak bantuan yang tertuju pada dirimu tetap tidak akan membantu.

Source : unknown

Sabtu, 04 Juni 2011

Memaksa Menjawab Misteri


Akhir-akhir ini saya sedikit berpikir mengapa orang-orang sering sekali mempertanyakan ke-Tuhan-an mereka. Apa tidak cukup dengan hanya percaya saja? Perlu  pertanggungjawaban citra dan karya yang di-Tuhan-kan secara ilmu pengetahuan? Atau tentang bagaimana bumi diciptakan dari "sesuatu yang tidak ada" lalu menjadi ada dan nampak?

Bagi saya tidak masalah seseorang gusar mempertanyakan apa yang diimaninya. Justru langkah maju baginya sendiri dan sungguh manusiawinya menuntut itu.


Baiklah, saya coba mengorat-oret pola pikir yang saya dapat dari berbagai sumber.

Secara ilmiah tidak mungkin bahwa yang "tidak ada" merupakan asal mula sesuatu yang ada. Singkatnya, mau tidak mau harus diakui keterbatasan ratio, dan secara logis ratio harus tunduk pada misteri. Apa yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah justru memberi tempat bagi jawaban iman.

Misteri memang tidak dapat dijelaskan secara ilmu pengetahuan, jika dari "tidak ada apa-apa" secara tiba-tiba muncul sesuatu - maka tentu ada sesuatu kekuatan yang mengadakan atau yang mampu mengubah dari tidak ada menjadi ada. 
Kekuatan itulah yang oleh iman (saya, kristen) disebut Allah Pencipta (teori creatio ex nihilo - penciptaan dari ketiadaan-bumi).

Dengan ini secara tegas saya menolak rasionalisme simplistik yang mengatakan bahwa rasionalitas adalah realitas terakhir sehingga apapun yang ada diluar rasionalitas seperti halnya misteri, dianggap irasional dan tidak ada. Rasionalisme simplistik inilah yang merupakan sumber atheisme.

Manusia kadang terlalu angkuh dengan pengetahuannya sehingga mengesampingkan spiritualitasnya sendiri. Ada baiknya menjawab pertanyaan dasar dalam diri berkenaan dengan kepercayaannya namun sering keliru menterjemahkan apa yang dimaksudkan dengan misteri, yang tak terjawab dengan ratio.

Atheisme merupakan suatu superfisial karena berusaha memaksakan rasio sebagai satu-satunya realitas terakhir sehingga menegasi ketiadaan mistei, padahal ALLAH adalah misteri yang tak terselami akal budi manusia yang landai.  

Jumat, 03 Juni 2011

Tentang Sebuah Pena Dan Secarik Kertas



Saya merindukan sebuah pena dan secarik kertas
Ketika benak saya ingin bersenggama sesaat
Tentang riuhnya suara bumi berteriak minta tolong
Tentang asa yang hampir putus di perempatan kaki liang
Tentang gurauan pak tua kepada harmonika titipan eyangnya
Atau tentang lambaian anggun manis Putri Indonesia 
Tak terbantahkan bagi mata nelangsa kesepian
Entah enggan entah suka

Saya menginginkan sebuah pena dan secarik kertas
Ketika buaian imaji penuh hasrat mendesak melambung
Tentang senja menyapa alam yang menurut begitu saja
Tentang rajutan partikel mendorong kumbang  mencari bunga
Atau tentang pasir yang tak mampu berjarak dengan asin laut
karena setiap butirnya mampu diselimuti si cair maut

Jadi apa saya tanpa sebuah pena dan secarik kertas
Jika kebakaran dalam saluran bisu di kepala 
Sudah tak teredam dengan mulut juga doa
Petualangan batin lunglai ini 
Hanya tertuang persis pada secarik kertas oleh sebuah pena
Goresan demi goresan 
Lalu menjadi makna berurai

Saya hanya butuh sebuah pena dan secarik kertas
Usang pun tak mengapa
Asalkan dapat ditorehkan cerita yang tak pernah usang
Bukan berkompetisi
Hanya ingin diwadahi


Dan seketika menjadi sederhana
Saat ada sebuah pena 
Dan secarik kertas


Lecon
03.06.11