Pak Yono, saya mengenalnya beberapa hari lalu di Taman Suropati Menteng, Jakarta Pusat. Umurnya sudah tidak muda lagi yaitu 65 tahun. Bapak sembilan anak satu cicit ini kesehariannya bekerja sebagai penjual tahu gejrot di Taman Suropati. Berawal dari keisengan saya nongkrong di taman itu, lelaki ini menarik perhatian saya dari sekian banyak penjual yang lalu lalang disitu. Beliau yang tertua persisnya.
Niat saya untuk berbincang singkat dengan beliau akhirnya kesampaian saat ia menghampiri saya untuk menawarkan jajanannya.
"Beli tahu neng?"
"Oh boleh pak, seporsi berapa?"
"Enam ribu. Makan sini apa bungkus?"
"Bungkus aja pak, buat orang rumah ntar"
"Pedes apa biasa neng?"
"Enaknya yang pedes deh pak, kayak idup saya," candaan saya berhasil mencetak senyum tipis dibibirnya. Yap, berhasil untuk pendekatan awal yang manis dengan beliau.
Dengan cekatan pak Yono mulai menyiapkan bumbu berupa bawang merah bawang putih plus cabai hijau lima biji yang selanjutnya diulek bersama campuran air gula merah. Ah baunya lumayan menghantam lambung. Daripada mikirin lambung lebih baik saya memulai investigasi pribadi dengannya.
Benar dugaan saya. pak Yono satu-satunya penjual lama yang masih bertahan di taman itu. Ia mulai menjajakan tahu gejrot di Taman Suropati sejak tahun 1997. Sebelumnya ia bekerja serabutan dengan berjualan kemoceng, sapu dan alat-alat rumah tangga lainnya. Pada saat krisis, usahanya ikut seret juga. Inilah yang membuat ia banting stir menjadi penjual tahu gejrot. Sehari biasanya ia mendapat untung bersih lima puluh ribu rupiah dari empat ratusan buah tahu yang dibawanya. Ia baru akan pulang setelah jam empat subuh ke kosannya yang tidak jauh dari taman. Keluarganya tetap menetap di Cirebon selagi ia mencari nafkah di Jakarta.
Dinamika kehidupan begini memang sudah lazim di Jakarta. Namun setiap mata saya melihat, selalu terbersit mimpi agar jangan lagi ada pemandangan seperti ini. Sebuah dunia yang setara, sejahtera dan bahagia tanpa perlu ada beban di pundak.
Pak Yono... teruslah berjuang.