Selasa, 18 Februari 2014

Faktor Human Error di Museum NTT

Di postingan saya sebelumnya, tentang Mengapa Harus Mengunjungi Museum?, saya sempat menyinggung tentang faktor human error yang mempengaruhi transfer nilai dibalik sebuah koleksi kepada masyarakat. Kali ini, saya ingin memperjelas tentang human error di Museum Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Tentang human error, penyebab terbesarnya datang dari dalam badan museum sendiri. Setahu saya, banyak orang dari disiplin ilmu yang berkaitan langsung dengan museum, tidak mengabdi di museum. Seperti orang-orang yang berlatar belakang ilmu arkeologi, sosiologi, kimia, biologi, sastra inggis, S2 museologi. Aplikasi ilmu mereka akhirnya tidak terserap langsung ke museum. Tenaga yang ada di museum saat ini, 75% adalah tamatan SD, SMP, SMA. Sisanya, lulusan S1 (ilmu sosial, sastra inggris, filsafat, ekonomi) dan terdapat 3 orang lulusan S2. Dua diantaranya S2 museologi yakni Kepala Museum dan Kepala Seksi Bimbingan Edukasi.

Soal kinerja, bagi saya masih belum maksimal walaupun tenaga khusus museologi ada disitu tapi tidak membawa dampak berarti bagi museum.
Human error yang kedua datang dari pengunjung. Di Museum NTT, skeleton/rangka mamalia Paus yang jadi salah satu koleksi masterpiece ini dipenuhi coretan spidol dari depan sampai belakang. Coretan ini saya yakini datang dari anak-anak SMA dan kuliahan karena model huruf yang sangat teratur dan bagus.

Setiap hari minimal satu pengunjung pasti ada, namun sering juga tidak ada pemandu sehingga dalam beberapa kasus, pengunjung dipandu oleh tenaga kebersihan ataupun satpam. Dan petungas pemandu sering kali juga diskriminatif. Mereka lebih bersemangat jika memandu grup atau rombongan pengunjung karena bayarannya membuat anda tersenyum girang. Bagi pengunjung dalam jumlah kecil, katakanlah satu atau dua orang saja, sering diabaikan.
Nah bagaimana nilai tradisi dibalik koleksi bisa tersampaikan dengan baik jika hal seperti ini terus berlangsung? Tentunya tidak ada kesan lagi untuk orang datang yang kedua kalinya. Mereka akhirnya 'tidak merindukan museum'.

Dan setahu saya hampir tidak ada keluhan yang tercatat di buku tamu museum padahal kritik di luar banyak. Maka dari itu, saya coba ungkapkan agar agan-agan bisa memberi masukan untuk memperbaiki kinerja kami.

Sedikit saya tambahkan, bekerja dalam lingkup museum pemerintah itu gampang, susah-susah. (Lha kok?!)

Gampangnya karena museum memberi kesempatan mengembangkan diri dan ilmu melalui pembelajaran dengan benda budaya serta nilai di lapangan. Susah-susahnya lebih kepada, tidak semua pekerja museum memiliki motivasi dan inisiatif yang sama untuk mengembangkan instansi ini menjadi lebih baik. Yah namanya juga PNS atau ASN (Aparat Sipil Negara), kerja tidak kerja tetap terima gaji tanpa diikuti tanggung jawab profesi dan moral. Yang saya alami disini juga sama. Lebih banyak yang terjadi adalah saling mencibir. Saya sering disindir bahkan dimusuhi karena dituding membicarakan dan menjatuhkan orang di dunia maya.

Membela diri bukan tujuan tulisan ini. Yang saya lakukan adalah mengkampanyekan Museum NTT terus dan terus. Jika ada elemen yang tidak berjalan di dalam badan museum, perlu saya ungkapkan agar tidak dinilai bahwa pekerja museum tidak becus melaksanakan tugas.
Ungkapan saya pastinya bersifat subjektif, tapi sangat bisa dipertanggungjawabkan mengingat hasil pencapaian museum yang tidak maksimal karena kendala terbesar adalah sebagian pekerja museum bekerja dengan pamrih - walaupun sudah diberi pamrih tetap saja kurang bertanggungjawab.

Mungkin ini bisa dijadikan jawaban pas untuk saya dan teman-teman di Museum NTT.
Mungutip kembali pernyataan teman saya, Ape Djami, bahwa;
Ini bukan soal SDM. Ini tentang komitmen pribadi sebagai manusia NTT yang kebetulan PNS untuk bikin museum lebe bae...
(Ini bukan soal SDM. Ini tentang komitmen pribadi sebagai manusia NTT yang kebetulan PNS untuk menjadikan museum lebih baik... )
Bagian sirip mamalia paus yang ditulisi pengunjung

Setelah dikonservasi

Membersihkan salah satu bagian koleksi skeleton mamalia paus
*Jika kita sudah berusaha, maka kekurangan kita tidak akan menjadi momok untuk diungkapkan ke masyarakat. Sebaliknya, akan menjadi usaha mencari jalan keluar yang terbaik. Momok hanya ada pada orang yang tidak berusaha dan mengabaikan potensinya. (Lely Taolin) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar