Senin, 24 Februari 2014

Televisi Jadi Baby Sitter Bagi Anak

Pernahkah kawan merasa jengah melihat keponakan atau anak sendiri menghabiskan hampir seluruh waktu bermain seharian di depan kotak ajaib sarang penyamun bernama televisi?
Judul artikel ini menjadi kesimpulan akhir ketika perilaku orang tua yang sering membiarkan anak meraka menonton televisi agar si anak tidak mengganggu aktivitas yang sedang orang tua lakukan. Di zaman serba canggih ini, televisi dijadikan baby sitter. Satu-satunya jalan yang diambil orangtua untuk mendiamkan dan menenangkan anaknya. 

Pengalaman saya seperti itu. Lebih baik beri saya pemandangan pembomanan Hiroshima dan Nagasaki daripada pemandangan anak-anak terbius didepan TV.  Lima orang keponakan saya tidak lepas matanya dari televisi. Misalnya  si Kakak (7 tahun), menekan tombol power ON pada televisi adalah hal pertama yang dia lakukan sepulang sekolah. dan ia tetap menatap televisi sambil melepas baju seragam, membuka sepatu dan menaruh tas. Saya berharap orang tuanya bisa menemukan teknologi untuk bisa memutar leher 360 derajat sehingga ia bisa lebih leluasa menyimpan tas dan mengambil makanan sekaligus menonton televisi.


Kebiasaan si Kakak akhirnya menjadi panutan bagi dua orang adiknya yang belum bersekolah. Ketika buka mata, gerakan yang dilakukan pertama adalah mencari remote televisi. Hadoh gusar saya. Sering saya ingatkan dengan bahasa yang sederhana agar jangan keseringan nonton TV toh tetap sama juga. Mereka hanya mengikuti instruksi saat mereka dalam pengawasan saya tapi setelah saya pergi, kebiasaan itu kembali lagi.

Solidaritas menonton televisi akhirnya menular juga kepada dua orang sepupunya yang sering main ke rumah. Baru saya rasakan efeknya ketika saya membimbing si Kakak belajar. Ia susah mengenali bentuk dan angka tanpa bantuan visual. Jika disuruh menunjuk, Ia bisa. Tapi jika diminta menuliskan atau menggambarkan, Kakak tidak bisa. 


Berikut saya copas dari milis tetangga :
“Matikan saja TV anda”.
Kedengarannya ekstrem. Tapi ini salah satu saran seorang dokter spesialis anak asal Amerika kepada para orang tua agar perkembangan otak dan kemampuan anak berkembang dengan baik. Kalau anak-anak dibiarkan bebas sebebas-bebasnya menonton TV, video, dan main game di komputer, apa yang terjadi terhadap pertumbuhan dan kemampuan belajar mereka?
Itulah pertanyaan yang mengusik benak Susan R. Johnson, M.D., dokter spesialis anak asal San Francisco dan pernah mendalami ilmu kesehatan anak yang berkaitan dengan perilaku dan perkembangan.
“Ratusan anak mengalami kesulitan berkonsentrasi pada pekerjaan, dan melakukan gerakan motorik kasar maupun halus. Kebanyakan mereka memenemui kesulitan dalam berhubungan dengan orang dewasa dan kelompok seusianya,” paparnya. Semula ia menduga, itu melulu akibat tayangan di televisi yang sering menampilkan kekerasan (terutama film kartun) dan semua iklan ditujukan pada mereka. Tetapi, baru semenjak kelahiran anaknya enam tahun lalu ia berhadapan dengan dampak yang sesungguhnya.
Saat bermain di luar, jelas Susan, anaknya bisa asyik mengamati binatang kecil atau serangga, bikin mainan dari ranting dan batu, atau main air dan pasir. Ia tampak begitu damai dengan dirinya, tubuhnya, dan lingkungannya. Tetapi begitu di depan TV, ia begitu cuek dengan si ibu maupun lingkungannya.
“Waktu saya matikan TV-nya, ia gelisah, senewen, dan selalu berteriak minta dinyalakan lagi. Tingkah polahnya kacau dan gerakan-gerakannya impulsif. Boro-boro bikin kreasi sendiri, ia justru meniru saja apa yang dilihatnya di TV dengan gerakan yang tidak kreatif, kaku, dan diulang-ulang.” Saat berusia 3,5 tahun, dia ajak anaknya mengunjungi sepupunya naik pesawat. Di pesawat diputar film Mission Impossible. Kebetulan mereka tidak kebagian earphone sehingga yang tertangkap hanya gambarnya. Tapi justru karena itulah, “Ia mendapat mimpi buruk dan takut pada api atau bunyi ledakan selama enam bulan setelahnya, dan perilakunya berubah.”
Setahun kemudian ia meneliti enam orang anak berusia 8 – 11 tahun yang semuanya memiliki kesulitan membaca di Pusat Kesehatan Sekolah. Menurut Susan, “Kalau saya tunjukkan sejumlah huruf lalu saya minta mengenali huruf tertentu, mereka dapat melakukannya. Tapi kalau saya tidak menunjukkan apa-apa – berarti tanpa masukan visual – lalu saya suruh menuliskan huruf tertentu, mereka tidak bisa.” 
(http://www.ibudanbalita.com/diskusi/pertanyaan/36949/-Kategori-Artikel-Fisioterapi-Fisioterapi-Tumbuh-Kembang-Anak-Pengaruh-Nonton-TV-Terhadap-Perkembangan-Otak-dan-Kemampuan-Anak) 
Nah bagi para orang tua dan kawan yang dikelilingi anak-anak, jangan pernah bosan mengingatkan untuk tidak menjadikan televisi sebagai hal yang mendominasi hidup mereka. Aturlah jadwal dan tayangan yang baik bagi mereka. Sebelum semakin susah dikendalikan... 

Selasa, 18 Februari 2014

Faktor Human Error di Museum NTT

Di postingan saya sebelumnya, tentang Mengapa Harus Mengunjungi Museum?, saya sempat menyinggung tentang faktor human error yang mempengaruhi transfer nilai dibalik sebuah koleksi kepada masyarakat. Kali ini, saya ingin memperjelas tentang human error di Museum Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Tentang human error, penyebab terbesarnya datang dari dalam badan museum sendiri. Setahu saya, banyak orang dari disiplin ilmu yang berkaitan langsung dengan museum, tidak mengabdi di museum. Seperti orang-orang yang berlatar belakang ilmu arkeologi, sosiologi, kimia, biologi, sastra inggis, S2 museologi. Aplikasi ilmu mereka akhirnya tidak terserap langsung ke museum. Tenaga yang ada di museum saat ini, 75% adalah tamatan SD, SMP, SMA. Sisanya, lulusan S1 (ilmu sosial, sastra inggris, filsafat, ekonomi) dan terdapat 3 orang lulusan S2. Dua diantaranya S2 museologi yakni Kepala Museum dan Kepala Seksi Bimbingan Edukasi.

Soal kinerja, bagi saya masih belum maksimal walaupun tenaga khusus museologi ada disitu tapi tidak membawa dampak berarti bagi museum.
Human error yang kedua datang dari pengunjung. Di Museum NTT, skeleton/rangka mamalia Paus yang jadi salah satu koleksi masterpiece ini dipenuhi coretan spidol dari depan sampai belakang. Coretan ini saya yakini datang dari anak-anak SMA dan kuliahan karena model huruf yang sangat teratur dan bagus.

Setiap hari minimal satu pengunjung pasti ada, namun sering juga tidak ada pemandu sehingga dalam beberapa kasus, pengunjung dipandu oleh tenaga kebersihan ataupun satpam. Dan petungas pemandu sering kali juga diskriminatif. Mereka lebih bersemangat jika memandu grup atau rombongan pengunjung karena bayarannya membuat anda tersenyum girang. Bagi pengunjung dalam jumlah kecil, katakanlah satu atau dua orang saja, sering diabaikan.
Nah bagaimana nilai tradisi dibalik koleksi bisa tersampaikan dengan baik jika hal seperti ini terus berlangsung? Tentunya tidak ada kesan lagi untuk orang datang yang kedua kalinya. Mereka akhirnya 'tidak merindukan museum'.

Dan setahu saya hampir tidak ada keluhan yang tercatat di buku tamu museum padahal kritik di luar banyak. Maka dari itu, saya coba ungkapkan agar agan-agan bisa memberi masukan untuk memperbaiki kinerja kami.

Sedikit saya tambahkan, bekerja dalam lingkup museum pemerintah itu gampang, susah-susah. (Lha kok?!)

Gampangnya karena museum memberi kesempatan mengembangkan diri dan ilmu melalui pembelajaran dengan benda budaya serta nilai di lapangan. Susah-susahnya lebih kepada, tidak semua pekerja museum memiliki motivasi dan inisiatif yang sama untuk mengembangkan instansi ini menjadi lebih baik. Yah namanya juga PNS atau ASN (Aparat Sipil Negara), kerja tidak kerja tetap terima gaji tanpa diikuti tanggung jawab profesi dan moral. Yang saya alami disini juga sama. Lebih banyak yang terjadi adalah saling mencibir. Saya sering disindir bahkan dimusuhi karena dituding membicarakan dan menjatuhkan orang di dunia maya.

Membela diri bukan tujuan tulisan ini. Yang saya lakukan adalah mengkampanyekan Museum NTT terus dan terus. Jika ada elemen yang tidak berjalan di dalam badan museum, perlu saya ungkapkan agar tidak dinilai bahwa pekerja museum tidak becus melaksanakan tugas.
Ungkapan saya pastinya bersifat subjektif, tapi sangat bisa dipertanggungjawabkan mengingat hasil pencapaian museum yang tidak maksimal karena kendala terbesar adalah sebagian pekerja museum bekerja dengan pamrih - walaupun sudah diberi pamrih tetap saja kurang bertanggungjawab.

Mungkin ini bisa dijadikan jawaban pas untuk saya dan teman-teman di Museum NTT.
Mungutip kembali pernyataan teman saya, Ape Djami, bahwa;
Ini bukan soal SDM. Ini tentang komitmen pribadi sebagai manusia NTT yang kebetulan PNS untuk bikin museum lebe bae...
(Ini bukan soal SDM. Ini tentang komitmen pribadi sebagai manusia NTT yang kebetulan PNS untuk menjadikan museum lebih baik... )
Bagian sirip mamalia paus yang ditulisi pengunjung

Setelah dikonservasi

Membersihkan salah satu bagian koleksi skeleton mamalia paus
*Jika kita sudah berusaha, maka kekurangan kita tidak akan menjadi momok untuk diungkapkan ke masyarakat. Sebaliknya, akan menjadi usaha mencari jalan keluar yang terbaik. Momok hanya ada pada orang yang tidak berusaha dan mengabaikan potensinya. (Lely Taolin) 

Mengapa Harus Mengunjungi Museum?

Jadi pandangan yang sekedar melihat museum sebagai bangunan/gedung untuk menyimpan peninggalan, artefak dan macam-macam benda budaya itu tidak salah. Hanya kita baru melihat setengah jati diri museum saja. 
Museum yang sesungguhnya adalah pola belajar menggunakan media. Medianya apa? Ya benda yang disebut koleksi museum.

Nah apa yang didapat? Banyak.

Seluruh ilmu pengetahuan ada disitu. Untuk mengkaji nilai sebuah benda koleksi, tidak hanya tentang cerita masa lalunya tapi sebuah koleksi dilihat dari berbagai disiplin ilmu berbeda.
Misalkan, museum memamerkan koleksi batu-batuan dan fosil (arkelogika), sebelumnya harus menguasai cerita besar dari awal terbentuknya bumi sampai pada masa sekarang, maka batu tersebut barulah bisa menjadi media belajar bagi pengunjung. 

Lalu, pengunjung datang belajar apa saja? 

Masih di contoh pameran arkeologika, pengunjung bisa mendapatkan nilai tambah pengetahuan dari sisi arkeologi (jenis dan proses terbentuknya batu ), kimia (unsur yang membentuk batuan), budaya (cerita tentang penggunaan dan perkembangannya), sosiologi (pola peradaban masyarakat), bahkan sampai guru konseling pun tidak pulang sia-sia karena akhirnya ia akan mengumpulkan faktor sebab akibat dan bagaimana manusia mencari solusi dari kisah soal batu tersebut.

Trus, bagaimana dengan benda juga tradisi budaya di luar museum?

Tenang saja pembaca yang budiman. Setiap tahunnya sebuah museum  mempunyai program kerja keluar. Kasi contoh lagi ya gan, ini beberapa kegiatan rutin museum setiap tahunnya :

  • Survey potensi budaya
  • Pengkajian koleksi dan pengembangan informasi
  • Pembenahan data koleksi museum
  • Pameran keliling di kabupaten

Saat di lapangan, pekerja museum tidak hanya menggali faktor yang berkaitan dengan kegiatan tersebut tapi juga mengumpulkan informasi yang berkembang di masyarakat, dan dirasa penting untuk dicatat. Jadi informasi dari luar juga tim museum kumpulkan dan data itu digunakan sewaktu-waktu apabila diperlukan. Kalaupun hendak dijadikan materi pameran, data itu bisa dipamerkan dalam bentuk audio dan visual tentunya dengan panel informasi yang tak kalah penting. 
Saat menjalankan tugas Pembenahan data Koleksi Tenunan Kabupaten Sikka, NTT. Motif tenunan yang dipegang sang ibu adalah motif Jentiu, motif paling tua asal daerah ini.

Begitulah museum, bisa saya katakan sebagai pusat ilmu pengetahuan. Kalaupun ada kegagalan dalam mentransfer nilai dibalik koleksi itu ke masyarakat, maka sebutlah itu human error. SDM pekerja museum masih jauh dari memuaskan. Namun justru itu memberi ruang untuk masyarakat luas menggali sendiri pertanyaan yang tidak terjawab di museum. Pada akhirnya semua akan bermuara pada satu tujuan, mengetahui proses dan hasil, dan terinspirasi untuk mengembangkan jati diri kita menjadi lebih baik lagi di peradaban kita. 500 tahun lagi keturunan kita akan belajar tentang pola kehidupan kita sekarang. 

Tunjukkan pada mereka bahwa peradaban kita memberi banyak terobosan untuk mereka... \0/
Beruntunglah saya yang mengabdi di Museum Daerah NTT dan tentunya pengunjung museum pula. 


Visit museum 2014 until the rest of your life! *kepengen ke Belandaaaaa*

Saat mempresentasekan tenunan NTT kepada Oscar Lawalata dan tim.