Federasi Teater Indonesia (FTI) untuk kelima kalinya menyelenggarakan Festival Monolog (Fesmon FTI) yang diadakan pada 21-25 Oktober 2012 di ruang-ruang publik yang telah dipilih oleh peserta festival. Tercatat 25 peserta dari berbagai daerah ikut berpartisipasi dalam festival ini.
Tidak ada penentuan tema dalam ajang ini, penilaian akan dilihat dari kepiawaian mereka membawakan monolog di depan publik tanpa membawa naskah. Kompetisi ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas para aktor dan aktris muda melalui ajang kompetisi yang sehat. Fesmon FTI dapat menjadi ruang yang lebih luas dalam menikmati teater dan menciptakan jaringan antara aktor teater. Target utama ajang ini adalah untuk menemukan bakat-bakat para aktor Indonesia dan menjaga eksistensi para aktor dalam peta kebudayaan dunia.
Saya berkesempatan mengikuti rangkaian Fesmon 5 sampai dengan hari terakhir evaluasi peserta. Dewan juri yang dipilih kali ini adalah Rita Matu (Teater Koma), Afrisal Malna dan Zainal Abidin. Penentuan pemenang dilakukan pada tanggal 27 Oktober 2012 melalui surat yang akan ditujukan langsung ke alamat para peserta. Yang keluar sebagai pemenang Festival Monolog Ruang Publik ke-5 ini adalah Aldy Fortuner.
Dalam evaluasinya, para juri menjelaskan unsur-unsur seni pertunjukan. Rita Matu menekankan pada passion dan to be. Seorang aktor harus melakukan riset dan observasi panggung agar lakon yang dibawakan mampu harmonis serta menyatu dengan ruang publik tersebut.
Sedang Afrisal Malna menuntut para pemain mampu memanfaatkan semua ornamen yang tersedia dalam ruang publik menjadi panggungnya. Dengan begitu, seni pertunjukan monolog ruang publik akan menjadi hidup.
Zainal Abidin sendiri melengkapi evaluasi dengan penjelasan bagaimana seorang actor dan naskahnya harus hidup di ruang publik. “Ruang publik itu jujur, beda dengan panggung. Seorang pemain berkewajiban menghidupi peran itu sebagai manusia, karena cerita itu fiktif,” tegas Zainal.
Zainal Abidin sendiri melengkapi evaluasi dengan penjelasan bagaimana seorang actor dan naskahnya harus hidup di ruang publik. “Ruang publik itu jujur, beda dengan panggung. Seorang pemain berkewajiban menghidupi peran itu sebagai manusia, karena cerita itu fiktif,” tegas Zainal.