Jumat, 11 Mei 2012

Averte Paulisper Lumina


: Matikan Lampunya Sejenak

Ya terkadang kau tidak mengerti semua yang terjadi
hanya dengan melihat dan merasakan
kau mempertimbangkan semua di otakmu tapi itu tidaklah cukup
tidak cukup untuk mengerti apa yang sedang terjadi
apa yang kau rasakan
dan apa yang kau harapkan

Ketika kenyataan berbenturan dengan mimpi
hanya kau yang tahu seberapa inginmu menemukan muara terakhir 
dari kolaborasi dunia yang mengecewakan
ingin itu membunuhmu
memaksamu mengejar setiap gejolak yang tertahan
hasrat yang penuh debur
seakan kau tidak akan hidup esok

Kau melihat kacamata yang tak bisa kau lihat 
hanya dengan bantuan hanya dua bola matamu
haruskah kau berlari mengejar itu
atau kau biaskan seolah tepi yang tak perlu menjadi pegangan
tahulah rasa seperti apa
pengabaian sensasi
fantasi terselubung
mamadatkan kemurkaan tidak puas alam
manusia yang tidak hendak menunggu
kau bergerak
celakanya kaulah gerakan tanpa arah
kepercayaanmu hanya pada angin
dan angin tak peduli
kau diam
saat itu kau mengerti arti kata 
h a m p a

Selamat...
Averte Paulisper Lumina
Matikan Lampunya Sejenak 




Senin, 07 Mei 2012

Teknologi Hati


“Aku gak punya pulsaaaaa…”

Melintas lagi di benak Lyan bunyi iklan sebuah provider yang sedang heboh-hebohnya di televisi.
“Apa-apaan si Ryan? Masa perasaan diukur pake hal gituan. Gak ngangkat telpon, SMS gak dibalas, gak re-tweet balik, foto berdua kemarin belum diupload. Grrrrr… besok-besok gak update anti virus pasti dibilang udah gak cinta!!” gerutu Lyan mengingat kelakuan kekasihnya.

“Lyaaaan ada telepon dari Ryan,” teriak mama dari ruang tengah.
“Iyaaa, Ma, Lyan dengar. Bilangin Lyan lagi beli sayur di Arab!” sambung Lyan penuh emosi.
“Ni makhluk emang rese. Gak hape gak telepon rumah semua dijabanin. Lama-lama telegram dikirim juga. Ah, dasar Ryan sarap!!” Lyan membatin bercampur amarah.

***

“Cut my life into pieces this is my last resort…” Handphone Lyan bordering SMS.
“Kenapa telpon gue gak diangkat sayaaaaang?? Kamu mulai aneh akhir-akhir ini. Bener dong kata Sam kalau kamu lagi jalan sama managermu di kantor kan? Atau udah nemu yang baru??”
Sms dari Ryan berhasil membuat amarah Lyan benar-benar meledak. Secepat kilat dibalasnya ketus. “Nomor yang anda tuju sedang di rumah sakit bersalin!” Sedetik selesai laporan terkirim handphone Lyan langsung dinon-aktifkan.

***

“Nona Lyan yang berbahagia, selamat Anda memenangkan Nobel kategori  sukses dihubungi melalui tatap muka. Ke depannya bisakah Nona memanfaatkan semua teknologi komunikasi yang sudah diwariskan pendahulu kita?” Suara bosnya dari seberang pintu mengagetkan Lyan yang baru saja sampai kantor.

“Data recovery property kita sudah dikirim Nona Lyan? Klien kita menelpon katanya belum menerima email apapun. Seharusnya Nona tahu jika perusahaan kita bekerja di bidang jasa dan barang yang membutuhkan pelayanan prima, karena jika tidak…”
“Baik, baik, Pak,” potong Lyan sebelum Lyan mendapat tambahan 3 SKS pagi itu. “Secepatnya, saya kirim sekarang,” sambung Lyan.
“Dan dalam tiga menit data itu sudah mereka terima!” tandas Pak Bos sambil belalu keluar ruangan.
“Siap komandante! Emm, Pak?”
“Apa lagi??”
“Sebaiknya Bapak belajar ilmu telepati jika ingin menghubungi saya…”
“Usul yang sempurna. Sekalian kantor kita buka cabang perdukunan Nona Lyan! Dan sebaiknya usul itu juga Nona sampaikan ke tunangan Nona itu yang lima kali sedetik menghubungi operator kantor!!”

***

Sambil memainkan kakinya di kursi kantor Lyan berpikir keras bagaimana harus membalas setiap interogasi dari Ryan nantinya. Seharian kemarin ia mematikan handphone, mengisolasi diri dari dunia maya dan semua yang berhubungan dengan komunikasinya dengan Ryan.

Akhirnya Lyan mencoba menonaktifkan handphone-nya. Baru semenit sudah 13 pesan. Sedikit menunggu lagi dan total 28 SMS atas nama Ryan.
“Dasar ya orang matematis, kalau bilangan genap tanggung amat cuman 28…” celoteh Lyan dalam hati.

Dibukanya pesan pertama…kedua…ketiga…
“Busyet ini SMS atau berita acara perkara nih?” dengan malas-malasan Lyan membaca SMS itu.
“Kasihan inbox gue, gak bisa langsing kalo penuh gini!” Tanpa membaca pesan selanjutnya Lyan menghapus semua isi kotak masuk di handphone-nya.

***

“Ryan, kita itu sudah tunangan…” Lyan membuka percakapan di malam itu, setelah tiga hari dia berupaya keras menghindari Ryan agar Ryan sadar bahwa dirinya murka dengan sifat posesif Ryan yang makin menjadi.

“Kamu tahu apa pendapatku tentang hubungan kita sekarang?” lanjut Lyan

“Oh, kamu mau bilang kita finish begitu? Betul kan dugaanku, kamu memang berubah. Benar juga soal manajermu itu kan? Tiga hari ini pasti kamu jalan sama dia!” Ryan mulai memberondong tunangannya.

“Cukup! Kamu dengar apa kataku tadi? Kita ini tunangan Ryan! Bukan begitu caramu memperlakukan tunanganmu. Kamu tahu, aku seolah-olah pacaran dengan teroris!” Sedetik kemudian Lyan sadar emosinya mulai muncul, harus diredam. Niatnya ingin bicara baik-baik.

“Seberapa besar kamu mempercayai aku?” lanjut Lyan.
“Aku percaya,” jawab Ryan singkat.
“Seberapa besar?”
“Besar.”
“Kalau begitu berhentilah bertingkah seolah-olah aku satu-satunya makhluk di bumi ini yang wajib dimata-matai. Berhenti menelpon dengan intensitas di luar batas. Berhenti menjamuku dengan pertanyaan mendakwa kayak ‘kata Sam, kamu begini ya?’  Terus kalau udah dikasih tau juga nanya lagi pertanyaan yang sama dalam waktu yang nggak kurang dari lima menit. Nanya itu wajar, tapi nggak nanya lagi kan?” panjang lebar Lyan menjelaskan ketidakpuasannya.

“Fine, berulang kali juga aku bilang ke kamu, aku bukan seperti pria lain. Aku beda. Tingkat perhatianku lebih tinggi, juga aku cemburuan. Aku berusaha jaga komunikasi karena kita sama-sama sibuk tapi kamu sama sekali tidak merespon itu. Coba pikir, kenapa aku harus sibuk mendengarkan omongan Sam dan lainnya? Karena kamu seperti alien, susah diajak kompromi dan aku jadi begini juga karena kamu, kamu yang membuat aku begitu sayang sampai aku harus seperti itu. Apa itu salah lagi?” bantah Ryan tak mau kalah.

“Semua itu membuat aku tidak nyaman. Aku menghargai pertunangan kita, dan tolong pikir baik-baik jika masih ingin melanjutkannya. Aku ngantuk, mau tidur,” sia-sia saja Lyan mengumpulkan kekuatannya untuk bicara toh Ryan tetap sama. Sebaiknya tidak disambung lagi sebelum emosinya yang bicara.

***

“Ya, emang aku jalan sama temen kenapa? Salah? Kalau aku bilang ke kamu memang kamu bakal ngijinin??”

Kegaduhan di meja sebelah cukup mengusik ketenangan Lyan di kedai kopi sebuah pusat perbelanjaan sore itu. Sepasang remaja usia belasan sedang bertengkar.

Kata-kata itu membuat alam bawah sadar kembali membawa Lyan mengenang Ryan, sosok tunangannya yang dulu tak jauh beda dengan remaja itu. Seusai pembicaraan mereka malam itu, Ryan menjadi frustrasi dan nekat menenggak pil tidur dalam jumlah banyak.

Lyan lalu mengambil handphone kemudian membuka pesan tersimpan.
“Kamu yang membuat aku begitu sayang…”
SMS terakhir Ryan sebelum ia tidur selamanya, tiga tahun yang lalu…

****

Sebuah Cerpen Kolaborasi Lecon & MPA yang diikutsertakan dalam Kolaborasi Cerpen Valentine Februari 2012